Dua bocah laki-laki kisaran umur 5-6 tahun tanpa kenal lelah menggenjreng kentrung sambil bernyanyi di bawah terik mentari.Â
Meski tidak ada yang memperhatikan mereka tetap bersemangat dengan pakaian compang-camping, bertelanjang kaki, dan kulit kecokelatan yang mulai mengering terpapar sinar UV.
Yang satu mengenakan kaus kebesaran, lusuh, dan sobek-sobek di beberapa bagian. Satu lagi hanya memakai singlet putih serta celana merah pendek bergambar Spiderman. Warnanya sudah memudar sablon di gambarnya pun nyaris tak terbentuk.
Melihat pemandangan demikian hati kecilku tergerak untuk tak segan-segan mewawancarai keduanya. Hanya sekedar bertanya-tanya perihal latar belakang kehidupan mereka. Sebelum itu aku beri satu perak uang logam.
"Apa kalian tak bersekolah?" tanyaku seraya mensejajarkan tinggi mereka.
Keduanya saling berpandang muka seakan menaruh kecurigaan pada orang asing sepertiku. Betapa bodohnya diriku seharusnya tidak bertanya secara terang-terangan.
Aku menyunggingkan senyum palsu. Kedua telapak tanganku bersamaan mengacak-acak rambut mereka gemas. Rambut yang begitu kaku, panas, tak terawat.
Betapa kasihan dua pengamen cilik itu bertahan hidup di jalan mengabaikan masa-masa paling menyenangkan. Demi mencari uang rela mengorbankan apa saja termasuk kebahagiaan.
Jika anak kecil menghabiskan seluruh waktunya untuk bermain dan bersenang-senang. Lain halnya dengan mereka yang susah payah mengais rezeki di bawah kerasnya dunia. Belum lagi ketika dikejar-kejar oleh petugas keamanan.
"Tidak apa-apa bolehkah kalian menyanyikan sebuah lagu untuk Kakak?"