Mohon tunggu...
Muhammad Fachri
Muhammad Fachri Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia biasa

Penulis pemula yang masih terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Merawat Kesehatan Mental dengan Filsafat

5 Januari 2023   19:53 Diperbarui: 5 Januari 2023   20:00 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, ketika usia kita sudah mencapai 20-an tahun, tak jarang akan muncul pertanyaan-pertanyaan tentang 'kapan?' dan 'sudah .... belum?', entah itu seperti lulus kuliah, bekerja, menikah, ataupun memiliki anak. Hal-hal tersebut adalah hal-hal yang ada di luar kendali kita. Kita tidak dapat mengendalikan perkataan orang lain yang muncul dari pikiran mereka sendiri untuk bertanya ataupun yang lainnya kepada kita. 

Seseorang bertanya karena tidak tahu itu adalah nature-nya manusia agar mereka dapat mengetahui sesuatu. Jika diperhatikan, pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah pertanyaan biasa. 

Namun, persepsi kitalah yang menjadikan pertanyaan-pertanyaan tersebut terasa menyebalkan, padahal kita tidak pernah benar-benar tahu apakah orang itu bertanya karena memang tidak tahu apa yang terjadi pada kita ataupun memang menyebalkan saja. 

Seorang dosen saya pernah berkata, bencana alam yang kita lihat sekarang ini sebenarnya adalah fenomena alam yang biasa, tetapi ketika ia berhadapan dengan persepsi manusia, yang mana ia menimbulkan kerugian pada manusia, maka manusia memberikan cap terhadapnya sebagai bencana alam. 

Misalnya adalah banjir. Ketika banjir terjadi di tengah hutan dan tidak ada manusia yang terkena dampaknya apakah banjir itu kita sebut sebagai bencana? Kan tidak juga. Kita bisa saja merasa kesal karena pertanyaan-pertanyaan 'kapan?' dan 'sudah ... belum?' tadi, tetapi kita tidak bisa tahu pasti apa maksud sebenarnya seseorang menanyakan hal tersebut kepada kita. Lagi-lagi, maksud dari pertanyaan orang lain tidaklah dapat kita kendalikan.

Metode STAR

Dalam buku Filosofi Teras yang ditulis Henry Manampiring (2018) terdapat salah satu cara untuk mengendalikan persepsi, yaitu dengan menerapkan metode STAR. Metode STAR ini terdiri dari Stop, Think & Assess, dan Respond.

  • Stop (berhenti). Ketika dalam suatu kejadian atau peristiwa kita merasakan adanya emosi negatif yang merasuki diri kita, kita perlu untuk berhenti terlebih dahulu. Emosi negatif seperti marah, curiga, khawatir, stres, sedih, dan lain-lain perlu kita stop terlebih dahulu agar kita tidak terlarut ke dalamnya. Langkah ini perlu dilakukan untuk mengendalikan emosi kita terlebih emosi-emosi negatif tadi supaya kita tidak mengeluarkan respon yang spontan yang hanya didasari oleh emosi-emosi negatif tersebut.

  • Think & Assess (berpikir dan menilai). Setelah kita berhasil mengendalikan emosi kita, langkah selanjutnya adalah berpikir (think). Proses ini dapat dilakukan dengan baik dan jernih ketika kita telah dapat mengendalkan emosi-emosi kita. Berpikir secara rasional mampu membuat kita teralihkan dari menuruti emosi sesaat. Setelah berpikir barulah kita bisa menilai (assess), apakah emosi atau perasaan saya ini bisa dibenarkan atau tidak? Apakah ketika saya melakukan tindakan ini tuh berdasarkan fakta objektif atau hanya berdasarkan hasil interpretasi saya saja? Dan apakah kejadian ini bisa saya kendalikan atau tidak?

  • Respond. Setelah kita menggunakan nalar, berupaya untuk menjadi rasional terhadap suatu kejadian, dan emosi kita sudah sedikit turun, barulah kita memikirkan respon apa yang akan kita berikan. Respon ini bisa dalam bentuk ucapan maupun tindakan. Meskipun respon yang kita berikan itu berada di bawah kendali kita, ada baiknya respon tersebut tidak berasal dari luapan emosi kita karena kita telah melalui proses-proses sebelumnya. Jika respon yang kita berikan masih didominasi dari luapan emosi kita dibanding dengan hasil pemikiran rasional kita terhadap suatu kejadian, rasa-rasanya cukup percuma untuk melakukan proses-proses yang sebelumnya. Sebelum kita bisa memberikan respon yang terbebas dari pengaruh emosi semata, proses think & assess perlu dilakukan terus-menerus hingga pada akhirnya kita bisa memberikan respon yang sebaik-baiknya denga prinsip yang bijak, adil, tidak terbawa emosi, dan berani.

Memang, membaca teorinya saja itu mudah, tetapi dalam praktiknya seringkali ada yang terlewat oleh kita. Ada yang missed. Sehingga hal tersebut perlu dilatih terus-menerus hingga kita dapat terbiasa dan dapat dengan mudah melakukannya. Kita perlu melatih persepsi, pola pikir, dan emosi kita agar kita dapat menghadapi semua masalah dan rintangan yang menimpa kita dengan tetap berkepala dingin dan hati yang tenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun