Akhir-akhir ini kita sering mendengar cerita tentang orang-orang yang mengalami masalah pada  mental heatlh-nya, entah itu karena stres, depresi, rasa cemas yang berlebih, ataupun menanggapi sesuatu secara lebay. Seiring dengan meluasnya pengetahuan tentang kesehatan mental, kemudian mulai banyak orang yang mulai aware dengan hal-hal yang dapat mengganggu kesehatan mental mereka, dan itu baik.Â
Ada sebuah metode atau cara yang kini mulai banyak digunakan oleh orang-orang untuk merawat kesehatan mental, yaitu dengan memisahkan hal-hal yang bisa kita kendalikan dan yang tidak bisa kita kendalikan. Sebenarnya cara ini sudah dikenal sejak sekitar 2000 tahun yang lalu oleh para penganut filsafat stoisisme dengan nama dikotomi kendali. Bagaimana cara filsafat stoisisme melakukan dikotomi kendali?
Dikotomi Kendali
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dikotomi kendali merupakan pembagian antara hal-hal yang dapat kita kendalikan dan yang tidak dapat kita kendalikan.Â
Secara sederhana, hal-hal yang dapat kita kendalikan adalah hal-hal yang berasal dari dalam diri kita, seperti pendapat diri sendiri, tindakan, dan juga persepsi kita terhadap sesuatu, sedangkan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan adalah hal-hal yang berasal dari luar diri kita, seperti apa yang dilakukan orang lain terhadap kita, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan alam di sekitar kita, hingga hal-hal yang baru saja kita alami. Kita perlu mengerti mengapa hal tersebut sangatlah penting.
Selama kita hidup telah banyak kejadian atau peristiwa yang telah kita lewati, dan terkadang kejadian tersebut bisa membuat kita merasa stres, kecewa, atau yang lainnya.Â
Contohnya adalah ketika kita terjebak macet di jalan saat berangkat kerja. Kondisi jalanan tidaklah dapat kita prediksi meskipun setiap hari kita melewatinya di jam yang sama. Setiap hari pasti saja ada hal-hal yang dapat memungkinkan terjadinya kemacetan, entah itu perbaikan jalan, penggalian kabel, tumpahan minyak atau pasir, hingga kecelakaan.Â
Dari contoh tersebut kita dapat melakukan pembagian dikotomi kendali. Memilih jalan mana yang akan dilalui, jam berapa akan berangkat kerja, dan seberapa kencang laju kendaraan kita adalah hal yang dapat kita kendalikan.Â
Namun begitu ketika di hadapan kita tiba-tiba ada kemacetan, itulah hal yang tidak dapat kita kendalikan. Ketika menghadapi yang seperti itu, seringkali reaksi pertama kita adalah marah atau menggerutu. Marah atau menggerutu merupakan reflelks dari ekspektasi kita terhadap jalanan yang lancar namun tidak terwujud. Kita menjadi kecewa terhadapnya, padahal kondisi jalan adalah hal yang berada di luar diri kita yang tidak dapat kita kendalikan.Â
Filsafat stoisisme juga mengajarkan untuk tidak meletakkan ekspektasi pada hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan, bahkan lebih cenderung untuk mengajarkan untuk mempersiapkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi, dan terjebak kemacetan adalah salah satu kemungkinan buruk yang akan terjadi selama kita berada di jalan.Â
Ketika kita terjebak di tengah kemacetan, hal yang dapat kita kendalikan adalah persepsi kita terhadap kemacetan tersebut. Orang yang marah, kesal, dan menggerutu ketika terjebak kemacetan pada contoh ini adalah orang yang persepsinya dikendalikan oleh hal lain, entah itu ekspektasi ataupun hal lain, sehingga orang-orang yang seperti ini cenderung lebih mudah untuk merasakan stres, bahkan ketika ia merespon kemacetan ini secara lebay, ia mungkin saja terkena depresi.
Selain itu, ketika usia kita sudah mencapai 20-an tahun, tak jarang akan muncul pertanyaan-pertanyaan tentang 'kapan?' dan 'sudah .... belum?', entah itu seperti lulus kuliah, bekerja, menikah, ataupun memiliki anak. Hal-hal tersebut adalah hal-hal yang ada di luar kendali kita. Kita tidak dapat mengendalikan perkataan orang lain yang muncul dari pikiran mereka sendiri untuk bertanya ataupun yang lainnya kepada kita.Â
Seseorang bertanya karena tidak tahu itu adalah nature-nya manusia agar mereka dapat mengetahui sesuatu. Jika diperhatikan, pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah pertanyaan biasa.Â
Namun, persepsi kitalah yang menjadikan pertanyaan-pertanyaan tersebut terasa menyebalkan, padahal kita tidak pernah benar-benar tahu apakah orang itu bertanya karena memang tidak tahu apa yang terjadi pada kita ataupun memang menyebalkan saja.Â
Seorang dosen saya pernah berkata, bencana alam yang kita lihat sekarang ini sebenarnya adalah fenomena alam yang biasa, tetapi ketika ia berhadapan dengan persepsi manusia, yang mana ia menimbulkan kerugian pada manusia, maka manusia memberikan cap terhadapnya sebagai bencana alam.Â
Misalnya adalah banjir. Ketika banjir terjadi di tengah hutan dan tidak ada manusia yang terkena dampaknya apakah banjir itu kita sebut sebagai bencana? Kan tidak juga. Kita bisa saja merasa kesal karena pertanyaan-pertanyaan 'kapan?' dan 'sudah ... belum?' tadi, tetapi kita tidak bisa tahu pasti apa maksud sebenarnya seseorang menanyakan hal tersebut kepada kita. Lagi-lagi, maksud dari pertanyaan orang lain tidaklah dapat kita kendalikan.
Metode STAR
Dalam buku Filosofi Teras yang ditulis Henry Manampiring (2018) terdapat salah satu cara untuk mengendalikan persepsi, yaitu dengan menerapkan metode STAR. Metode STAR ini terdiri dari Stop, Think & Assess, dan Respond.
- Stop (berhenti). Ketika dalam suatu kejadian atau peristiwa kita merasakan adanya emosi negatif yang merasuki diri kita, kita perlu untuk berhenti terlebih dahulu. Emosi negatif seperti marah, curiga, khawatir, stres, sedih, dan lain-lain perlu kita stop terlebih dahulu agar kita tidak terlarut ke dalamnya. Langkah ini perlu dilakukan untuk mengendalikan emosi kita terlebih emosi-emosi negatif tadi supaya kita tidak mengeluarkan respon yang spontan yang hanya didasari oleh emosi-emosi negatif tersebut.
- Think & Assess (berpikir dan menilai). Setelah kita berhasil mengendalikan emosi kita, langkah selanjutnya adalah berpikir (think). Proses ini dapat dilakukan dengan baik dan jernih ketika kita telah dapat mengendalkan emosi-emosi kita. Berpikir secara rasional mampu membuat kita teralihkan dari menuruti emosi sesaat. Setelah berpikir barulah kita bisa menilai (assess), apakah emosi atau perasaan saya ini bisa dibenarkan atau tidak? Apakah ketika saya melakukan tindakan ini tuh berdasarkan fakta objektif atau hanya berdasarkan hasil interpretasi saya saja? Dan apakah kejadian ini bisa saya kendalikan atau tidak?
- Respond. Setelah kita menggunakan nalar, berupaya untuk menjadi rasional terhadap suatu kejadian, dan emosi kita sudah sedikit turun, barulah kita memikirkan respon apa yang akan kita berikan. Respon ini bisa dalam bentuk ucapan maupun tindakan. Meskipun respon yang kita berikan itu berada di bawah kendali kita, ada baiknya respon tersebut tidak berasal dari luapan emosi kita karena kita telah melalui proses-proses sebelumnya. Jika respon yang kita berikan masih didominasi dari luapan emosi kita dibanding dengan hasil pemikiran rasional kita terhadap suatu kejadian, rasa-rasanya cukup percuma untuk melakukan proses-proses yang sebelumnya. Sebelum kita bisa memberikan respon yang terbebas dari pengaruh emosi semata, proses think & assess perlu dilakukan terus-menerus hingga pada akhirnya kita bisa memberikan respon yang sebaik-baiknya denga prinsip yang bijak, adil, tidak terbawa emosi, dan berani.
Memang, membaca teorinya saja itu mudah, tetapi dalam praktiknya seringkali ada yang terlewat oleh kita. Ada yang missed. Sehingga hal tersebut perlu dilatih terus-menerus hingga kita dapat terbiasa dan dapat dengan mudah melakukannya. Kita perlu melatih persepsi, pola pikir, dan emosi kita agar kita dapat menghadapi semua masalah dan rintangan yang menimpa kita dengan tetap berkepala dingin dan hati yang tenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H