Sungai seharusnya dapat menjadi sumber air bersih bagi masyarakat. Namun pencemaran yang terjadi mengakibatkan air sungai tak lagi dapat digunakan untuk konsumsi. Sebenarnya, ini bukan masalah bagi Jakarta saja, melainkan kota-kota lain di berbagai belahan dunia, terutama di kota-kota negara ketiga.
Perilaku masyarakat yang masih menganggap sungai sebagai halaman belakang rumah menjadikan mereka menjadi lebih bebas untuk membuang sampah atau melakukan MCK di sungai. Selain mengakibatkan pencemaran, perilaku tersebut juga dapat mengakibatkan pendangkalan atau sedimentasi sungai.
Sedimentasi dengan cara seperti ini memiliki laju sedimentasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sedimentasi dengan cara yang alami. Pencemaran sungai yang masif seperti ini, secara berantai akan menimbulkan masalah lain, seperti banjir dan penyakit ketika hujan deras terjadi karena kualitas air yang buruk.
- Berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Setiap manusia membutuhkan tempat tinggal, dan tempat tinggal membutuhkan ruang atau lahan. Dengan terus bertambahnya jumlah penduduk yang hadir di Jakarta, maka kebutuhan akan lahan juga semakin tinggi. Sejak masa kemerdekaan, jumlah penduduk yang datang ke Jakarta terus bertambah.
Di antara mereka kemudian banyak membangun tempat tinggal dengan memanfaatkan segala ruang yang tersedia di Jakarta, termasuk bantaran sungai. Pembangunan yang terjadi tentu akan membuka dan mengubah lahan yang tadinya hijau menjadi bangunan.
Hingga tahun 2019, luas RTH di Jakarta hanya 14,9% dari luas total wilayah Jakarta (Kompas.com, 2019). Padahal menurut UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Pasal 29 ayat (2) menyatakan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Itu artinya luas RTH yang dimiliki oleh Jakarta masih jauh dari standar yang ditetapkan undang-undang.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebenarnya sangat dibutuhkan oleh wilayah kota. Selain sebagai penyedia oksigen dan membuat udara perkotaan lebih bersih, RTH juga dapat berfungsi sebagai penjaga ketersediaan air tanah. Ketika jumlah RTH terus berkurang, maka ketersediaan air tanah juga terancam.
Masalah ini tidak hanya terjadi di Jakarta saja, melainkan wilayah Bogor yang menjadi bagian hulu sungiai-sungai yang melalui Jakarta. Saat ini, telah banyak lahan di bagian hulu yang telah berubah.
Yang tadinya hutan, kini berubah menjadi permukiman, hotel, villa, kafe, bahkan tempat wisata. Perubahan penggunaan lahan di daerah ketinggian sangatlah berisiko, sebab ketika hutan berubah menjadi wilayah terbangun, berbagai bencana akan muncul, seperti banjir dan tanah longsor.
Hutan sebagai ruang terbuka hijau di daerah ketinggian sebenarnya memiliki fungsi yang sama dengan RTH yang ada di kota, namun skala yang dimilikinya jauh lebih besar. Hutan-hutan yang ada di daerah Bogor merupakan daerah resapan bagi daerah Jakarta dan sekitarnya.
Ketika hutan berubah menjadi area terbangun dan terjadi hujan, maka air tidak lagi meresap ke dalam tanah melainkan langsung mengalir menuju selokan dan akhirnya terbuang begitu saja ke sungai. Hal tersebut sangat disayangkan, sebab air yang seharusnya meresap ke dalam tanah dan menjadi cadangan air terbuang sia-sia.