Mohon tunggu...
Fachri Husaeni
Fachri Husaeni Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer/Videografer

Mahasiswa Ilmu Komunikasi dari Universitas Nasional yang menyukai bidang Videografi dan Fotografi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Fenomena Studi Kasus Jokowi Klarifikasi Soal Ucapan Presiden Boleh Kampanye dan Memihak: Ini Saya Tunjukin UU-nya

2 Februari 2024   21:31 Diperbarui: 2 Februari 2024   21:41 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sudut pandang epistemologi, kasus Jokowi klarifikasi soal ucapan presiden boleh kampanye dan memihak dapat dilihat sebagai berikut:

  • Oleh mereka yang setuju dengan pernyataan Jokowi, pernyataan tersebut dapat dimaknai sebagai ekspresi kebebasan berpendapat dan berserikat yang dijamin oleh konstitusi. Presiden sebagai warga negara memiliki hak untuk mendukung kandidat tertentu dalam pemilihan umum. 

  • Oleh mereka yang tidak setuju dengan pernyataan Jokowi, pernyataan tersebut dapat dimaknai sebagai pelanggaran terhadap prinsip netralitas jabatan presiden. Presiden seharusnya tidak boleh memihak salah satu kandidat dalam pemilihan umum, karena hal tersebut dapat mempengaruhi hasil pemilihan

3. AKSIOLOGI

Aksiologi fenomena klarifikasi Jokowi terkait ucapan presiden yang membolehkan kampanye dan memihak melibatkan penilaian nilai-nilai etika dan moralitas dalam konteks kebijakan politik. Dalam hal ini, aksiologi akan menyoroti pertimbangan moral yang mendasari pernyataan presiden, termasuk apakah tindakan tersebut dianggap sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang diterima oleh masyarakat atau bertentangan dengan norma-norma etika yang ada.

Dari sudut pandang aksiologi, kasus Jokowi klarifikasi soal ucapan presiden boleh kampanye dan memihak dapat dilihat sebagai berikut: 

  • Oleh mereka yang setuju dengan pernyataan Jokowi, pernyataan tersebut dapat dimaknai sebagai upaya untuk memperkuat demokrasi dan pluralisme di Indonesia. Presiden sebagai pemimpin negara seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat dalam menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan pluralisme.

  • Oleh mereka yang tidak setuju dengan pernyataan Jokowi, pernyataan tersebut dapat dimaknai sebagai upaya untuk memanipulasi hasil pemilihan umum. Presiden seharusnya tidak menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum, karena hal tersebut dapat melanggar prinsip keadilan dan kesetaraan.

Kasus klarifikasi ucapan Presiden Jokowi terkait kampanye dan sikap memihak menunjukkan kompleksitas dalam ranah politik Indonesia. Fenomena ini memicu perdebatan tentang batasan kekuasaan seorang presiden, netralitas institusi, dan prinsip-prinsip demokrasi. Analisis dari perspektif ontologi, epistemologi, dan aksiologi memberikan wawasan tentang realitas politik, pemahaman hukum, dan penilaian nilai-nilai etika dalam konteks kebijakan politik. Dengan demikian, kasus ini tidak hanya menjadi perdebatan politik, tetapi juga mencerminkan tantangan dalam memahami konstitusi dan hukum positif yang mengatur kekuasaan seorang presiden dalam konteks pemilihan umum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun