Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, telah menjadi salah satu tokoh sentral dalam politik Indonesia sejak terpilih menjadi presiden pada tahun 2014. Dalam kepemimpinannya, Jokowi telah menghadapi berbagai tantangan politik, ekonomi, dan sosial yang kompleks, sementara juga mencoba mempertahankan integritasnya sebagai pemimpin yang mewakili kepentingan rakyat. Pada bulan-bulan terkini, pernyataan dan tindakan Jokowi kembali menjadi sorotan publik setelah klarifikasi yang dilakukannya terkait dengan kebolehan seorang presiden untuk melakukan kampanye politik dan dugaan sikap memihak dalam konteks politik domestik.
Pada tanggal 25 Januari 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan pernyataan di hadapan wartawan di Istana Merdeka, Jakarta. Jokowi mengatakan, dia hanya menjawab pertanyaan dari wartawan mengenai 'menteri non-partai politik yang ikut dalam kampanye'. Sehingga, kepala negara hanya menjelaskan aturan terkait kampanye, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.Â
"Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 jelas menyampaikan pasal 299 bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Jelas," kata Jokowi dalam keterangan video Youtube Kompas Tv, Jumat (26/1/2024). Selain itu, Jokowi mengatakan, dalam Pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, juga diatur mengenai beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh presiden dan wakil presiden jika melakukan kampanye. "Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan, kecuali fasilitas pengamanan dan menjalani cuti di luar tanggungan negara," ungkap Jokowi.
Eks Gubernur DKI Jakarta ini pun minta masyarakat dan seluruh pihak untuk tidak membuat interpretasi yang berbeda terkait pernyataannya beberapa waktu yang lalu. Jokowi menegaskan bahwa pernyataan terkait presiden boleh memihak adalah ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Sudah jelas semuanya kok. Sekali lagi jangan ditarik ke mana-mana. Jangan diinterpretasikan ke mana-mana. Saya hanya menyampaikan ketentuan aturan perundang-undangan karena ditanya," ucapnya. Pernyataan ini menimbulkan diskusi luas di kalangan masyarakat, politisi, dan ahli hukum mengenai batasan-batasan kekuasaan seorang presiden serta prinsip-prinsip demokrasi dalam sistem politik Indonesia.
ANALISIS FENOMENA PERNYATAAN JOKOWI DARI PERSPEKTIF FILSAFAT YANG MELIPUTI : ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI & AKSIOLOGI
1 ONTOLOGI
Ontologi fenomena Jokowi klarifikasi mengenai ucapan presiden yang memperbolehkan kampanye dan memihak dapat dilihat sebagai realitas politik yang berkaitan dengan interpretasi norma dan aturan dalam suatu sistem hukum. Dalam konteks ini, ontologi melibatkan pemahaman tentang eksistensi hukum dan norma-norma yang mengatur pernyataan dan tindakan presiden.Â
Dari sudut pandang ontologi, kasus Jokowi klarifikasi soal ucapan presiden boleh kampanye dan memihak dapat dilihat sebagai berikut:Â
Oleh mereka yang setuju dengan pernyataan Jokowi, pernyataan tersebut dapat dimaknai sebagai ekspresi kebebasan dan demokrasi. Presiden sebagai warga negara memiliki hak untuk mendukung kandidat tertentu dalam pemilihan umum.
- Oleh mereka yang tidak setuju dengan pernyataan Jokowi, pernyataan tersebut dapat dimaknai sebagai pelanggaran terhadap prinsip netralitas jabatan presiden. Presiden seharusnya tidak boleh memihak salah satu kandidat dalam pemilihan umum, karena hal tersebut dapat mempengaruhi hasil pemilihan.
2 EPISTEMOLOGI
Epistemologi fenomena klarifikasi Jokowi terkait ucapan presiden yang membolehkan kampanye dan memihak melibatkan pemahaman terhadap pengetahuan hukum yang digunakan dalam proses klarifikasi tersebut. Epistemologi dalam konteks ini berkaitan dengan cara presiden memahami, menginterpretasi, dan merinci dasar hukum yang mendukung pernyataannya. Analisis epistemologis akan mencakup cara presiden mencari pengetahuan hukum, mengacu pada sumber-sumber hukum, dan memahami konsep-konsep hukum yang relevan.
Dari sudut pandang epistemologi, kasus Jokowi klarifikasi soal ucapan presiden boleh kampanye dan memihak dapat dilihat sebagai berikut:
Oleh mereka yang setuju dengan pernyataan Jokowi, pernyataan tersebut dapat dimaknai sebagai ekspresi kebebasan berpendapat dan berserikat yang dijamin oleh konstitusi. Presiden sebagai warga negara memiliki hak untuk mendukung kandidat tertentu dalam pemilihan umum.Â
Oleh mereka yang tidak setuju dengan pernyataan Jokowi, pernyataan tersebut dapat dimaknai sebagai pelanggaran terhadap prinsip netralitas jabatan presiden. Presiden seharusnya tidak boleh memihak salah satu kandidat dalam pemilihan umum, karena hal tersebut dapat mempengaruhi hasil pemilihan
3. AKSIOLOGI
Aksiologi fenomena klarifikasi Jokowi terkait ucapan presiden yang membolehkan kampanye dan memihak melibatkan penilaian nilai-nilai etika dan moralitas dalam konteks kebijakan politik. Dalam hal ini, aksiologi akan menyoroti pertimbangan moral yang mendasari pernyataan presiden, termasuk apakah tindakan tersebut dianggap sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang diterima oleh masyarakat atau bertentangan dengan norma-norma etika yang ada.
Dari sudut pandang aksiologi, kasus Jokowi klarifikasi soal ucapan presiden boleh kampanye dan memihak dapat dilihat sebagai berikut:Â
Oleh mereka yang setuju dengan pernyataan Jokowi, pernyataan tersebut dapat dimaknai sebagai upaya untuk memperkuat demokrasi dan pluralisme di Indonesia. Presiden sebagai pemimpin negara seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat dalam menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan pluralisme.
- Oleh mereka yang tidak setuju dengan pernyataan Jokowi, pernyataan tersebut dapat dimaknai sebagai upaya untuk memanipulasi hasil pemilihan umum. Presiden seharusnya tidak menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum, karena hal tersebut dapat melanggar prinsip keadilan dan kesetaraan.
Kasus klarifikasi ucapan Presiden Jokowi terkait kampanye dan sikap memihak menunjukkan kompleksitas dalam ranah politik Indonesia. Fenomena ini memicu perdebatan tentang batasan kekuasaan seorang presiden, netralitas institusi, dan prinsip-prinsip demokrasi. Analisis dari perspektif ontologi, epistemologi, dan aksiologi memberikan wawasan tentang realitas politik, pemahaman hukum, dan penilaian nilai-nilai etika dalam konteks kebijakan politik. Dengan demikian, kasus ini tidak hanya menjadi perdebatan politik, tetapi juga mencerminkan tantangan dalam memahami konstitusi dan hukum positif yang mengatur kekuasaan seorang presiden dalam konteks pemilihan umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H