Mohon tunggu...
Fachrezi Havid
Fachrezi Havid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa yang aktif dalam organisasi dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Influence Politikus vs Influence Pemimpin: Mengenal Retorika Kaum Sophisme & Aristoteles.

29 Maret 2024   23:43 Diperbarui: 29 Maret 2024   23:45 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik filosofis Yunani kuno tercermin dalam perbedaan perspektif seni persuasi dan komunikasi yang dikemukakan oleh sofisme dan Aristoteles dalam ajaran mereka tentang retorika. Sofisme, seperti yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh terkemuka seperti Gorgias dan Protagoras, memberikan penekanan yang signifikan pada elemen retorika yang pragmatis dan sering kali berpengaruh. 

Kaum sofis percaya bahwa retorika memiliki kemanjuran yang signifikan dalam mempengaruhi sikap, memenangkan perdebatan, dan mencapai prestasi individu. Fokus utama ajaran mereka berkisar pada gagasan bahwa kemanjuran suatu argumen adalah hal yang paling penting, sering kali mengabaikan kebenaran atau pertimbangan etis. 

Gorgias, misalnya, mendapat pengakuan atas kemahirannya dalam membujuk orang lain untuk mendukung sikap kontroversial, yang ditunjukkan dalam "Encomium of Helen", yang menyatakan bahwa Helen dari Troy tidak seharusnya memikul tanggung jawab atas Perang Troya. Penerapan strategi retorika pragmatis menimbulkan tuduhan bahwa kaum sofis lebih mengutamakan memenangkan perselisihan daripada mengejar pemahaman otentik atau memajukan nilai-nilai moral. 

Ajaran kaum sofis sangat dicari oleh individu yang memiliki kemampuan finansial untuk memanfaatkan jasa mereka, khususnya di bidang seperti politik, hukum, dan berbicara di depan umum, di mana kapasitas untuk mempengaruhi orang lain sangat dijunjung tinggi. Sofisme, yang dicirikan oleh gaya retorikanya yang pragmatis dan seringkali ambigu secara etis, mendapat rasa hormat sekaligus kecaman dari masyarakat Yunani kuno.
Sejarah:
Bidang Retorika berkembang sebagai domain ilmiah, dengan Georgia (480--370 SM) diakui sebagai instruktur pertama dalam domain ini. Penggambaran Retorika komprehensif pertama dilakukan oleh penduduk Syracuse, sebuah kota Yunani yang terletak di pulau Sisilia. Dahulu kala, koloni ini diperintah oleh penguasa yang lalim. Sepanjang sejarah, para tiran memiliki kecenderungan kuat untuk mengusir orang dari wilayahnya. 

Sekitar tahun 465 SM, sebuah revolusi diprakarsai oleh masyarakat. Otokrat digulingkan dan sistem demokrasi didirikan. Pemerintah telah mengklaim kembali tanah milik pemilik sahnya. Untuk mencabut haknya, pemilik tanah harus mempunyai kemampuan membujuk juri di pengadilan. 

Pada periode tersebut, terdapat kekurangan tenaga profesional hukum dan kepemilikan tanah. Individu harus membujuk pengadilan hanya melalui komunikasi verbal. Individu sering mengalami kesulitan dalam mendapatkan kembali harta bendanya karena terbatasnya kemampuan komunikasi verbal. 

Corax menulis makalah Retorika, berjudul Techne Logon (seni kata-kata), dengan tujuan membantu individu dalam mengamankan hak-hak hukum mereka. Meskipun makalah ini sudah usang, terbukti dari rekan-rekan penulis bahwa ia membahas pendekatan probabilitas di dalamnya. Ketika dihadapkan pada ketidakpastian, disarankan untuk memulai dengan berbagai kemungkinan. 

Misalnya, seseorang yang kaya terlibat dalam pencurian dan menghadapi tuntutan hukum pada tingkat pertama. Dengan menggunakan konsep kemungkinan, kami menyelidiki apakah mungkin bagi seseorang yang kaya untuk mengkompromikan reputasinya dengan melakukan pencurian. 

Sepanjang hidupnya, ia menghindari konsekuensi hukum atas tindakan pencuriannya. Misalnya, seseorang yang miskin melakukan pencurian dan kemudian diadili atas pelanggaran kedua. Kita bertanya, "Dia sebelumnya melakukan pencurian dan menerima balasan." 

Bagaimana dia bisa melakukan tugas yang sama sekali lagi? Retorika mempunyai kemiripan dengan bidang ilmu bela diri. Tokoh-tokoh terkenal dalam retorika kuno termasuk Gorgias, Lycias, Phidias, Protogoras, dan Isocrates. Kelompok ini menyebut aliran Retorika mereka sebagai kaum Sofis.
Isu kontemporer:
Saat ini, para politisi sering kali menggunakan taktik menipu yang mencerminkan keterampilan retoris yang digunakan oleh kaum sofis di Yunani kuno. Mirip dengan bagaimana kaum sofis lebih menekankan pada kemanjuran daripada kebenaran, politisi kontemporer menggunakan bahasa sebagai sarana untuk memanipulasi sentimen publik, mendapatkan dukungan, dan mencapai tujuan politik mereka. Mirip dengan Gorgias, yang terkenal mengadvokasi Helen dari Troy dalam bukunya "Encomium of Helen," politisi memiliki kemampuan untuk memanipulasi fakta atau menyampaikan sebagian kebenaran untuk membangun narasi yang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Daya tarik emosional dapat digunakan oleh individu untuk memperoleh respons yang intens dan memengaruhi opini dengan menarik kesedihan audiensnya. Selain itu, penggunaan slogan-slogan yang menarik perhatian, pengulangan kata-kata penting, dan penyederhanaan permasalahan yang rumit memiliki kemiripan dengan metodologi sofis yang digunakan untuk meningkatkan daya persuasif argumen. Selain mengatasi permasalahan nyata, politisi juga dapat menerapkan strategi penghindaran atau menyerang lawan sebagai cara untuk mengalihkan kritik. Fenomena "fakta alternatif" atau penyebaran informasi yang salah untuk menimbulkan keraguan dan kebingungan merupakan contoh relativisme kebenaran, ciri khas wacana sofis. Pada dasarnya, pidato politik kontemporer sering kali mencerminkan strategi manipulatif dan persuasif yang digunakan oleh kaum sofis, yang tujuannya tidak selalu untuk mengejar kebenaran, melainkan untuk menggalang dukungan dan meraih kemenangan politik.

Berbagai contoh di masa sekarang dapat disaksikan di mana para politisi menyebarkan pidato manipulatif seperti yang dilakukan oleh kaum sofis. Contoh ilustratifnya dapat dilihat dalam konteks pemilu politik, di mana politisi mungkin menggunakan taktik seperti distorsi faktual, janji yang dilebih-lebihkan, atau manipulasi emosional untuk mempengaruhi pemilih. Misalnya, beberapa politisi terlihat menggunakan taktik populis, menawarkan penyelesaian yang tidak praktis terhadap isu-isu rumit tanpa memberikan strategi yang substansial. Selain itu, mereka mungkin menggunakan strategi yang menimbulkan rasa takut, memanfaatkan kekhawatiran masyarakat untuk mendapatkan dukungan. Selain itu, politisi mungkin menggunakan kesalahan logika atau teknik pengalih perhatian selama debat atau pidato publik sebagai cara untuk menghindari pertanyaan atau kritik yang sulit. Tujuan manipulasi bahasa dan argumentasi adalah untuk membangun persepsi positif dan mendapatkan dukungan publik, seringkali mengabaikan kenyataan dan pertimbangan etis. Meluasnya kehadiran media sensasional dan platform media sosial juga menawarkan peluang bagi para politisi untuk menyebarkan informasi dan propaganda yang menipu, sehingga memajukan retorika manipulatif mereka. Meskipun tidak semua politisi mengambil bagian dalam metode tersebut, contoh-contoh di atas dapat menjadi ilustrasi bagaimana retorika menipu yang digunakan oleh kaum sofis masih ada dalam politik kontemporer Indonesia, yang memungkinkan mereka mempengaruhi sentimen publik dan mendapatkan keuntungan politik.

Sebaliknya, seorang pemimpin ideal yang menganut pendekatan retoris Aristoteles berupaya mempengaruhi orang secara etis dengan menggunakan prinsip-prinsip kredibilitas, penalaran, dan persuasi emosional. Berdasarkan prinsip yang dianut Aristoteles, pemimpin seperti ini menekankan pada penanaman etos melalui pembentukan sifat dapat dipercaya, integritas, dan karakter moral. Tujuan utama mereka adalah menjadikan diri mereka sebagai penyalur informasi dan penasihat yang dapat dipercaya dan diandalkan. Individu-individu yang dimaksud menggunakan logos dalam pidato dan komunikasi mereka, menggunakan penalaran logis dan bukti-bukti yang mendukung untuk mendukung argumen dan proposisi mereka. Dengan menggunakan pendekatan logis, individu menjamin bahwa komunikasi mereka didasarkan pada informasi faktual dan penalaran rasional, sehingga meningkatkan pemahaman dan kejelasan di antara audiens mereka. Lebih jauh lagi, pemimpin secara efektif menerapkan pathos dengan secara terampil menarik emosi audiensnya dengan cara yang bertanggung jawab dan etis. Alih-alih memanipulasi rasa takut atau amarah, tujuan mereka adalah untuk memperoleh empati, kasih sayang, dan inspirasi. Melalui pemanfaatan nilai-nilai dan tujuan bersama, pemimpin ini secara efektif menumbuhkan rasa kohesi dan arah kolektif, sehingga mendorong keterlibatan dan kolaborasi yang konstruktif. Secara umum, seorang pemimpin yang secara etis memanfaatkan retorika Aristoteles bertujuan untuk membangun kepercayaan, menumbuhkan pemahaman, dan memotivasi transformasi konstruktif, mengarahkan pengikutnya menuju tujuan bersama sambil menjaga standar kebenaran, kejujuran, dan akuntabilitas etis.

Sebuah ilustrasi tentang seorang pemimpin kontemporer yang secara efektif menggunakan prinsip-prinsip retorika Aristoteles untuk mempengaruhi orang lain secara etis dapat dilihat dalam kasus Barack Obama, yaitu dalam pidatonya selama masa jabatannya sebagai presiden. Obama terus mengedepankan etos dengan menampilkan kepribadian yang berkarakter seperti integritas, kecerdasan, dan empati. Orasi pembicara dibedakan dengan pemanfaatan penalaran logis dan argumentasi yang didukung bukti, sehingga mencontohkan konsep logos. Dalam konteks pidato kampanyenya pada tahun 2008, individu tersebut menggunakan bukti empiris dan analisis statistik untuk mendukung usulan kebijakannya, termasuk reformasi layanan kesehatan dan strategi pemulihan ekonomi. Obama dengan mahir memanfaatkan kesedihan, dengan demikian menarik kepekaan emosional masyarakat Amerika melalui narasi yang membangkitkan harapan, memupuk persatuan, dan mendorong inklusivitas. Slogan kampanye, "Yes, we can" secara efektif menarik optimisme dan aspirasi masyarakat, menumbuhkan kesadaran kolektif akan tujuan dan pemberdayaan. Pidato Obama pada masa pemerintahannya difokuskan pada upaya memupuk persatuan dan bukan perpecahan, serta memotivasi jutaan orang dengan visinya mengenai masyarakat yang adil dan tidak memihak. Pidatonya sering kali mendorong pertukaran ide, pemahaman, dan kerja sama, memberikan contoh prinsip moral retorika Aristoteles untuk menumbuhkan transformasi yang bermanfaat.

Kesimpulan:

Pengujian retorika, mulai dari kaum sofis hingga Aristoteles, menyingkapkan pembagian yang jelas dalam penggunaan strategi persuasif dalam ranah politik. Sofisme, seperti yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh terkemuka seperti Gorgias dan Protagoras, memberikan penekanan yang signifikan pada elemen retorika yang pragmatis dan sering kali manipulatif, dengan mengutamakan kemanjuran persuasi di atas prinsip kebenaran dan etika. Ajaran kaum sofis, yang didasarkan pada relativisme dan gagasan bahwa retorika berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan pribadi, tercermin dalam politisi kontemporer yang menggunakan strategi serupa untuk mempengaruhi sentimen publik. Contoh yang terjadi di Indonesia dan negara-negara lain menggambarkan bagaimana politisi tertentu memanipulasi informasi, membuat klaim yang berlebihan, dan menggunakan strategi yang menimbulkan rasa takut untuk mempengaruhi masyarakat, yang mencerminkan strategi retoris pragmatis kaum sofis. Sebaliknya, retorika Aristoteles menghadirkan kerangka etika alternatif yang menekankan pada sifat dapat dipercaya, logika, dan daya tarik emosional untuk menumbuhkan pemahaman dan mencapai kebenaran. Para pemimpin yang menganut gagasan Aristoteles, seperti yang dicontohkan oleh Barack Obama, menggunakan retorika sebagai sarana untuk memotivasi dan memupuk persatuan, mengandalkan daya tarik nilai-nilai dan aspirasi kolektif daripada memanipulasi emosi atau memutarbalikkan informasi faktual. Slogan dan pidato kampanye Obama menunjukkan kombinasi harmonis antara etos, logo, dan pathos, dengan tujuan menumbuhkan kepercayaan dan menganjurkan transformasi konstruktif. Ringkasnya, sejarah perkembangan retorika, mulai dari kaum sofis hingga Aristoteles, menunjukkan konflik penting antara penggunaan manipulasi dan persuasi etis dalam bidang komunikasi politik. Meskipun politisi tertentu mungkin menggunakan strategi sofis demi keuntungan mereka sendiri, dampak jangka panjang dari retorika Aristoteles berfungsi sebagai pengingat akan kemampuan para pemimpin untuk mempengaruhi orang lain secara etis, memupuk persatuan di antara komunitas dan memotivasi kemajuan melalui komunikasi yang jujur, penuh kasih sayang, dan logis. Dalam menghadapi dinamika politik kontemporer yang rumit, memahami sudut pandang historis mengenai retorika ini dapat membantu kita dalam mengidentifikasi dan mendukung para pemimpin yang menggunakan bahasa mereka dengan cara yang bertanggung jawab dan etis demi kemajuan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun