Mohon tunggu...
Fabianus Keane Karnaen
Fabianus Keane Karnaen Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Pelajar SMA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Melestarikan Pluralisme di Indonesia

18 November 2024   18:49 Diperbarui: 18 November 2024   19:01 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan" (Gusdur).

Mandat untuk Menjaga Pluralisme

Indonesia adalah negara dengan anugerah keberagaman yang begitu hebat. Ibarat Indonesia adalah kanvas, keberagaman di Indonesia adalah cat yang memberikan warna kehidupan yang unik pada setiap elemen di negeri ini. Sewajarnya sebuah elemen pewarnaan, Gradasi adalah teknik umum yang biasa digunakan oleh pelukis untuk mempercantik nuansa lukisannya. Begitu pula dengan Indonesia, sikap pluralisme turut membantu memberikan "gradasi" warna keberagaman di negeri ini.

Diversitas sudah mengakar jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sejak zaman kerajaan Hindu Buddha hingga kerajaan Islam, Nenek moyang bangsa Indonesia sudah memberikan warna perbedaan kepercayaan. Abad ke-16, banyak bangsa asing, mulai dari Eropa, India, Gujarat, hingga China mendaratkan kaki di kepulauan nusantara untuk memulai bisnis perdagangan rempah-rempah. Pedagang dengan berbagai keagamaan ini kemudian berbaur di tengah masyarakat, hingga membentuk komunitas keagamaan mereka di tengah masyarakat. Agama Khonghucu dibawa oleh pedagang dari China, Katolik dan Kristen dibawa oleh pedagang dari Eropa. Hal ini mengindikasikan bahwa unsur keberagaman kepercayaan sudah tertera pada cetak biru Indonesia. 

Menjelang kemerdekaan Indonesia, para pendiri bangsa juga menyadari keberagaman di negeri ini. Salah satu hal yang menunjukan sikap toleransi antar pendiri bangsa yang berbeda agama adalah perubahan rancangan pancasila. Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menorehkan bahwa bentuk awal dari sila pertama adalah "Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Setelah dikaji ulang, para pendiri kemudian menyadari bahwa hal ini terlalu diskriminatif bagi sebagian kecil masyarakat Indonesia pemeluk agama selain Islam. Sila pertama kemudian diubah pada sidang PPKI 18 Agustus 1945 hingga menjadi bentuk yang kita kenal hingga saat ini, yakni "Ketuhanan yang Maha Esa". 

Semua hal ini memberikan kesaksian, betapa beragamnya keagamaan di Indonesia. Seperti kutipan quotes milik Gusdur, "Agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan", kita sebagai warga negara Indonesia diberikan mandat untuk melestarikan diversitas ini, agar tetap memberikan warna harmoni di Indonesia. 

Membangun Bingkai Toleransi

Ekskursi adalah sebuah kegiatan studi banding. Kolese Kanisius memberikan kesempatan bagi para kanisian (sebutan untuk siswa Kolese Kanisius) kelas 12 untuk mengenal perbedaan kepercayaan di Indonesia melalui kegiatan ekskursi ini. Rangkaian kegiatan berjalan selama 3 hari di pesantren, ditambah 1 hari untuk memberikan pembekalan materi mengenai pluralisme. 

Dialog lintas agama dilaksanakan sehari sebelum keberangkatan para kanisian ke pondok pesantren di sekitar Jakarta. Acara ini mengundang tiga narasumber, YM. Bhikkhu Kamsai Sumano Mahathera, Inaya Wahid, dan Mateo Jubileo Singgih. Secara umum, para narasumber memberikan wawasan mereka mengenai pengalaman pergulatan keberagaman agama mereka di Indonesia. Bhikkhu Kamsai mewakili agama Buddha, Inaya Wahid (anak dari Alm. K.H. Abdurrahman Wahid) mewakili agama Islam, dan Mateo Jubileo Singgih (content creator) mewakili agama Katolik. 

Keesokan harinya para kanisian bersiap berangkat pada pukul 06:30. Rombongan anak muda ini sampai di Pondok Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya pada pukul 14:30. Pemandangan sore itu terlihat kontras, bukan hanya dari penampilan, tetapi juga kepercayaan. Sungguh indah bagaimana para kanisian dengan para santri saling bersalaman, saling belajar, dan saling menghargai kepercayaan. 

Pluralisme mengakar dari hati yang tulus menerima perbedaan. Pernyataan tersebut cocok untuk menggambarkan pengalaman kanisian di pondok pesantren. Semenjak perkenalan di hari pertama, saya belajar banyak hal, bagaimana menemukan permata di tengah keberagaman. Melalui dinamika bersama, termasuk bermain, belajar, makan, dialog, dan pertunjukan, replika Indonesia sungguh terwujud di tengah-tengah pondok pesantren itu. 

Sebagaimana pada setiap pertemuan ada perpisahan, rombongan kanisian kelas 12 harus angkat kaki setelah tinggal selama 3 hari 2 malam di ponpes itu. Dengan seremonial sederhana, diikuti oleh salaman perpisahan dan sesi foto bersama, resmi sudah anak muda dari Jakarta itu pergi meninggalkan Pondok Pesantren Amanah Tasikmalaya. Secara fisik, saya terpaut jauh dari para santri di ponpes itu. Namun, bercak kenangan, pengalaman, dan pembelajaran yang saya dapatkan selama ekskursi tetap tinggal di lubuk hati saya dan teman-teman saya. 

Memetik Buah

Menurut KBBI VI (2016), pluralisme adalah keadaan masyarakat majemuk yang umumnya bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya. Pluralisme sendiri adalah kata serapan dari kosakata bahasa Inggris Pluralism. Secara etimologis, pluralisme terdiri atas dua kata, plural (keberagaman) dan isme (paham), yang bila digabungkan menjadi paham atas keberagaman.

Keberagaman di Indonesia terwujud sejak pertemuan berbagai suku bangsa di nusantara. Setiap suku bangsa memiliki paham keagamaannya masing-masing. Jikalau pada waktu itu tidak terdapat pertemuan, boleh jadi Indonesia tidak sekaya akan kepercayaan seperti saat ini. Pertemuan yang terwujud, membangun pilar-pilar kebudayaan yang menjadi batu fondasi nusantara. Hebatnya, masyarakat majemuk terdahulu memilih sikap untuk saling respek, meskipun ada orang lain yang berbeda kepercayaan dengan mereka. Sikap ini begitu krusial, karena jika sampai masyarakat waktu itu memilih untuk bersikap intoleran, tidak akan ada harmoni yang terwujud hingga saat ini.

Pengalaman ekskursi menjadi wadah bagi saya untuk membuka mata, memberikan wawasan luas mengenai kehidupan yang begitu berbeda dari kehidupan saya. Misalnya saja, nilai kesederhanaan yang saya dapati ketika mengamati kehidupan para santri dengan fasilitas yang terbatas, tapi mereka tetap bahagia dengan jalan hidup mereka. Saya menyadari, boleh jadi kebahagiaan tidak selalu ditemukan di tempat mewah dan glamor. Bisa jadi, ada kehidupan penuh kesederhanaan yang dapat mengajarkan arti kebahagiaan sejati.

Saya juga menemukan semangat toleransi yang luar biasa dari pribadi-pribadi yang berbeda dengan saya. Rombongan disambut dengan meriah dan kedekatan para santri dengan orang yang baru mereka kenal lebih dari cukup untuk menunjukan kemurnian hati mereka dalam menjunjung semangat toleransi. Hal ini lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa di tengah kemelut dunia, dengan berbagai kasus intoleransi yang terjadi di berbagai lokasi, masih tumbuh generasi muda yang membawa semangat toleransi untuk kehidupan masa depan bangsa Indonesia.

Pengalaman perjumpaan ini akan membekas di hati para kanisian dan para santri. Pada masa yang akan mendatang, besar kemungkinan pengalaman ini akan mengingatkan kedua belah pihak akan mandat penting yang diwariskan turun-temurun sejak sebelum Indonesia berdiri. Adalah tugas anak muda negeri untuk mempelopori semangat kebhinekaan di bumi Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun