Bian Prasetyo namanya. Siswa kelas sebelas. Ia ketua panitia perayaan Hari Kebangkitan Nasional. Kini sedang berjalan melalui koridor sekolah yang dihiasi lukisan batik dari berbagai daerah. Meski bangga memimpin acara sebesar ini, Bian merasa tertekan oleh harapan tinggi dari teman-teman dan guru.
"Semuanya harus berjalan lancar," gumamnya pada diri sendiri sambil mempercepat langkah menuju ruang OSIS. Di sana, Caca, sekretaris OSIS yang energik, sudah menunggu dengan segudang tugas yang harus diselesaikan.
Suasana di ruang OSIS sangat sibuk. Papan tulis dipenuhi dengan daftar tugas, mulai dari susunan acara hingga pembagian peran untuk siswa. Caca mengatur anggota OSIS lain dengan gesit, sementara Bian berdiri di depan papan tulis, memeriksa apakah ada yang terlewatkan.
"Caca, bagaimana dengan kelompok tari?" tanya Bian, matanya fokus pada daftar panjang.
"Sudah beres, Bi. Kelompok tari siap menampilkan tarian Saman dari Aceh dan Tari Piring dari Minangkabau. Kostum dan propertinya juga sudah siap," jawab Caca, sambil menyerahkan secarik kertas.
Bian mengangguk puas. "Bagus. Aku hanya khawatir dengan penerimaan dari siswa. Kita kan punya banyak suku di sini."
Caca tersenyum. "Justru itulah keindahannya. Keberagaman adalah kekuatan, dan acara ini akan membuktikannya."
Esok harinya, SMA Nusantara berubah menjadi lautan warna. Setiap siswa mengenakan pakaian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Pelataran sekolah yang luas dihiasi umbul-umbul dan kain tradisional dari Sabang hingga Merauke. Bau dupa dan bunga melati memenuhi udara, memberikan nuansa sakral pada persiapan.
Bian berdiri di depan panggung utama, mengenakan baju adat Jawa dengan blangkon. Di sampingnya, Caca dalam kebaya Bali, sibuk memberikan arahan terakhir.
"Kita siap, Bi. Penampilan pertama adalah orkestra tradisional, disusul dengan tarian daerah, dan kemudian acara utama," kata Caca dengan nada optimis.
Bian mengangguk. "Semoga semua berjalan sesuai rencana."
Acara dimulai dengan penampilan gamelan dan nyanyian sinden yang membawa suasana tenang dan penuh makna. Namun, saat acara memasuki pidato kepala sekolah, mikrofon tiba-tiba mati. Ketegangan segera melanda.
Bian berlari ke belakang panggung, mencoba memperbaiki masalah. "Ada apa ini?" gumamnya sambil memeriksa kabel yang terlepas.
Sementara itu, Caca berusaha menenangkan penonton dengan memimpin nyanyian lagu-lagu daerah. Meskipun suasana tegang, keberanian Caca dan keteguhan Bian berhasil mengatasi masalah. Setelah beberapa menit, mikrofon berfungsi kembali dan pidato kepala sekolah dilanjutkan.
Ketegangan meningkat lagi saat kelompok seni tari tampil. Beberapa penari terlihat gugup, dan salah seorang hampir terjatuh saat menari. Caca, di belakang panggung, memberikan isyarat agar mereka tetap tenang. Bian, menonton dari samping, merasa deg-degan.
Namun, penonton memberikan tepuk tangan meriah. Kekurangan yang terlihat dianggap sebagai keaslian dan usaha keras para penari. Bian dan Caca saling pandang, lega dan senang melihat semuanya berjalan baik.
Setelah acara selesai, Bian dan Caca duduk di bangku taman, memandang langit senja yang memerah. "Kita berhasil, Ca," kata Bian dengan senyum lelah namun puas.
Caca mengangguk. "Iya, Bi. Tapi ini baru permulaan. Masih banyak yang harus kita lakukan untuk melestarikan budaya kita."
Bian mengangguk serius. "Kamu benar. Acara ini sukses, tapi tugas kita sebagai generasi muda masih panjang. Kita harus terus belajar dan menjaga warisan yang diberikan kepada kita."
Hari-hari berikutnya di SMA Nusantara dipenuhi semangat baru. Siswa-siswa yang awalnya kurang tertarik pada budaya kini menunjukkan minat. Setiap Jumat, sekolah mengadakan kegiatan ekstrakurikuler untuk pelestarian budaya---menari, mempelajari musik tradisional, dan bahasa daerah.
Diskusi tentang keberagaman semakin sering diadakan di kelas. Para guru memberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya mempertahankan identitas di tengah globalisasi. Bian, yang awalnya merasa terbebani, kini semakin bersemangat. Dia sering mengajak teman-temannya untuk ikut serta dalam kegiatan budaya di sekolah dan desanya.
Namun, tantangan terbesar datang ketika SMA Nusantara harus berpartisipasi dalam festival budaya kota yang bergengsi. Festival ini dihadiri oleh berbagai sekolah dari seluruh Indonesia, dan SMA Nusantara harus menampilkan pertunjukan yang menggambarkan keragaman budaya.
Bian dan Caca, yang dipercaya sebagai pemimpin tim, merasa tertekan. Mereka harus menyusun konsep yang menonjolkan keberagaman sekaligus menyampaikan pesan persatuan.
"Bagaimana kalau kita buat drama musikal tentang perjuangan pahlawan dari berbagai daerah?" usul Bian di ruang OSIS.
Caca mengernyitkan dahi. "Ide yang bagus, Bi. Tapi kita perlu sesuatu yang lebih menggugah hati penonton, sesuatu yang membuat mereka merasakan pentingnya menjaga warisan budaya."
Setelah berhari-hari berdiskusi, mereka menemukan konsep yang tepat. Mereka memutuskan untuk menampilkan drama musikal tentang seorang pemuda yang berkeliling Nusantara untuk mempelajari dan melestarikan budaya dari berbagai daerah. Cerita ini diiringi dengan tarian, musik, dan lagu-lagu tradisional dari setiap daerah yang dikunjungi.
Festival hari itu dipenuhi penonton. Ketika giliran SMA Nusantara tiba, suasana menjadi hening. Bian, yang memerankan tokoh pemuda, tampil percaya diri, menceritakan perjalanannya dari satu daerah ke daerah lain, belajar tentang budaya, bahasa, dan adat istiadat.
Di tengah pertunjukan, ada momen dramatis ketika Bian dihadapkan pada dilema---memilih antara mengikuti arus globalisasi atau mempertahankan identitas budaya. Dengan penuh keyakinan, Bian memilih untuk menjaga warisan nenek moyangnya.
Penonton terdiam, terbawa oleh cerita yang disampaikan dengan mendalam. Ketika pertunjukan selesai, aula dipenuhi tepuk tangan meriah. Bian dan Caca merasa puas, mengetahui pesan mereka diterima dengan baik.
Namun, saat mereka merayakan kesuksesan, sebuah berita mengejutkan datang: salah satu tokoh pahlawan yang diceritakan dalam drama mereka ternyata masih hidup dan berada di Yogyakarta. Ini menjadi kejadian tak terduga yang membuka kesempatan bagi SMA Nusantara untuk bertemu langsung dengan sosok yang telah menginspirasi mereka. Kisah mereka berlanjut dengan kesempatan langka ini, menghubungkan masa lalu dengan masa depan, dan memperkuat dedikasi mereka dalam melestarikan warisan budaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI