Mohon tunggu...
Franklin Towoliu
Franklin Towoliu Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemerhati masalah kehidupan

Penulis,fiksi,komik,freejournalist,perupa dan aktifis teater

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ekspedisi Ventira, Negeri yang Hilang (35/Bag:5/Jika Mendengus Itu Bukan Cinta)

14 Juni 2020   16:58 Diperbarui: 14 Juni 2020   17:03 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oh-ya? Hoby yang menyenangkan," ujar Rainy disusul tawa renyahnya hingga Burhan pun ikut tertawa.

 "Raive memang begitu. Kalau terpisah sedikit saja pasti langsung merasa rindu." 

 "Oh ya? Mungkin karena setiap hari bersama ya?  Eh, maaf.  Mohon tak tersinggung. Rainy dan Raiva hubungannya  saudara sepupu atau mungkin adik kakak?"  Tanya Burhan.

 "Ah sama sekali tidak. Hanya sahabat kok. Tapi sangat dekat. Tepatnya sejak SD, juga kami sepermainan."

 "Tapi, kalian berdua terlihat banyak kemiripannya. Seperti saudara sepupu kelihatannya atau malah seperti kakak beradik," 

 "Ya, kata banyak orang juga seperti itu," sahut Rainy. 

 "Ayo kalau begitu. Sebaiknya  kita bergabung lagi dengan yang lain," katanya lagi.

 "Ayo Rai, silahkan duluan,"

 "Kamu duluan Han. Please. Aku kurang nyaman jika terlalu formal," 

 Burhan tak menyahut tapi langsung melangkah. Seekor capung terbang di depan mata Rainy seakan memberinya salam. Dan rupanya tak hanya satu, melainkan ada beberapa capung. Mereka bergabung lalu membentuk skuadron  kemudian meleset mendahului Rainy dan Burhan. Pemandangan yang menghibur bagi Rainy.

 Sampai di halaman rumah pak Subhan, rupanya yang lain sudah berpindah duduk di teras rumah pak Subhan. Rainy dan  Burhan bergegas kesana untuk bergabung. Tapi Burhan langsung duduk disampingnya membuat ia tak enak hati pada Danish. Ia melirik gadis Australia yang lebih banyak diam itu, namun Danish malah sibuk bicara dengan Raiva yang duduk dipepet Daniel. Kali ini terlihat jelas kalau Daniel dan Raiva sudah semakin dekat dan berani, pikir Rainy. Baru saja perasaan  tadi mau melintas lagi, Rainy langsung menepisnya jauh, lalu memilih berbincang dengan Burhan. Ia sadar Daniel melirik kecil tapi ia tak perduli dan tak mau melayani perasaan lainnya.

 "Mang Didin nanti tolong dicek  ke belakang kamar mandinya ada enggak?  Soalnya saya dengar tadi istri pak Subhan mandi atau nyuci di pancuran? Kalau mandi di pancuran kayaknya seru tuh. Saya mau banget.  Sehabis makan singkong saya ingin mandi dulu. Kaos saya sudah agak lengket tadi,"  Pinta Rainy pada Didin.

 "Baik atuh neng, nanti saya cek." Didin menjawab pendek lalu segera ke belakang.  Ada keinginan dihatinya untuk beradu pandang dengan Rainy saat bicara tapi ia tak mampu.

 Baim terlihat mau menimpali pembicaraan antara Rainy dan Didin  namun urung demi melihat seorang wanita berusia kira-kira 35 tahunan muncul dari dalam rumah. Wajah wanita itu nampak  begitu bersih dan manis. Rambutnya panjang dan di ikat satu ke belakang sebagaimana kebanyakan wanita-wanita desa.  Namun wanita ini sesaat membuat para lelaki yang ada disitu terperangah. Dengan hidung yang mancung dan alis hitam tebal Ia menarik meski terlihat malu dan agak menunduk menyembunyikan kecantikannya yang sederhana. Mungkin ia anak Pak Subhan atau bisa jadi adiknya.  

 Masih sambil membungkuk, wanita meletakkan wadah singkong rebus dan singkong goreng di atas dipan yang terbuat dari bambu. Ia ditemani Eva yang sejak tadi giat membantu di dapur dan kali ini membawa ceret berisi air putih. 

 "Sekarang banyak orang mulai memakai air kemasan di kota-kota besar. tapi ini nih minuman sehat. Air mineral asli langsung dari mata air dan direbus hingga mendidih. Jadi matang bener. Kuman-kumannya pada mati semua. Silahkan diminum." Ujar Eva dengan bangganya.

 "Aduh mpok gimana sih,,,  jangankan kuman atuh mpok. Bang baim juga mah, kalau direbus sampai mendidih ya, pasti  mati atuh,mpok," Didin bergurau, menggoda Baim.

 "Ah lu,bang. Dikata gua singkong, pake direbus segala? Bibir lu tuh di rebus," Baim tak kalah sengit. Yang lain jadi tertawa ramai. 

 "Permisi ya, perkenalkan istri saya. Namanya Rogaya." Pak Subhan memotong keriuhan Baim dan Didin.

 Semua terpana sedetik waktu mendengar Pak Subhan memperkenalkan wanita itu sebagai istrinya. Didin dan Baim malah jadi lesu karena sempat berpikir wanita itu seorang gadis desa. Kesempatan bagi mereka berdua. 

 "Ini bini pertama apa bini keberapa pak, ya?" Baim keceplosan.

 "Ssst! Mulut lu tuh, asal jeplak aja!" bentak Eva.

 "Ahaha... Istri saya Cuma yang  ini  Bang." Jawab  Pak Subhan lugu.

 "Busset, muda banget. Kirain anaknya pak?" seloroh Baim lagi.

 "Baim! Elu tuh ya ntong! Kayak bocah aja ngomongnya." Eva nampak kesal, tak enak hati pada Pak Subhan.

 Rainy memandang ibu Rogaya ini agak lama.  Seingatnya Pak Subhan teman ayahnya. Berarti umurnya tak jauh-jauh dari umur ayahnya yakni, 62 tahun sekarang. Tapi kenapa istrinya masih muda?

 Melihat tatapan Rainy Pak Subhan segera mengerti, karena waktu bertetangga dulu Rainy mungkin saja masih ingat wajah istrinya karena saat itu Rainy kelas 5  SD. "Non Rainy, istri bapak  yang pertama sudah meninggal delapan tahun lalu." Jelas pak Subhan dengan kalem. Kelihatannya ia tak tersinggung dengan pertanyaan Baim, malah nampak tersenyum  simpul. 

 "Iya pak saya ingat pernah dengar dari ayah soal berita itu. Eh, ngomong-ngomong saya ingin Tanya soal pancuran. Katanya tadi Ibu Rogaya baru dari pancuran ya? Itu pancuran bambu sperti yang umum atau pancuran besar seperti air sungai yang jatuh gitu?" Rainy panjang lebar bertanya. 

 "Oh itu pancuran buat kami mandi, mencuci dan mengambil air minum untuk dimasak. Tapi airnya bersih dan segar karena berasal dari mata air asli. Kalau mau mandi nanti saya antar ke sana," suara ibu Rogaya kali ini terdengar. Suara itu terdengar halus dan sopan. 

 "Wow ini asyik namanya. Kalau begitu sehabis makan saya akan langsung mandi." Cetus Rainy senang. 

 "Iya tentu bareng aku dong, beb." Raiva menyeletuk.

 "Siapa tak mau mandi air segar dan asli. Langsung dari pancuran lagi." Kali ini Dansih yang biasa diam ikut berkomentar.

 "Kelihatannya semua pada demen ingin mandi di pancuran, kan. Oke, ntar habis makan kita bagi giliran ya?" kata Eva akhirnya. 

 Mendengarnya, Pak Subhan dan Istrinya Rogaya hanya bisa tersenyum-senyum lalu berpamitan untuk kembali ke dapur bersama istrinya. Mata Didin dan Baim jelalatan mengikuti pinggul istri pak Subhan yang bergoyang ke kiri dan kanan.

 "Matanya, matanya... astaga ini orang bedua. Ya  Allah. Kualat ntar mata lu bedua." Eva kembali menggeram melihat tingkah Didin dan Baim.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun