"Mungkin Pak Didin harus berteriak agar e... mereka bisa mendengar kehadiran pak Didin."  Suara Danish terdengar ketika ada jeda. Mata kelabunya terbuka agak lebar kea rah Didin yang duduk tepat di depannya.
 "Itu benar dan seperti yang saya pikirkan dan inginkan juga. Hanya saya malah takut jika saya berteriak kemudian akan menimbulkan reaksi yang akan berbalik mencelakakan saya," tandas Didin.
 "Maaf... lalu bagaimana dengan dengan Jaques dan ehh,, siapa namanya..."
 "Misis Lin," potong Didin melihat Burhan susah mengingat nama Misis Lin yang tadi disebutkan berapa kali olehnya. "Mereka tidak pernah bertemu saya lagi." Kata Didin dengan raut sedih.
 "Apa mereka tewas dalam negeri itu atau tertangkap?" sambar Danish.
 "Tidak... Mereka masih hidup. Saya sempat berbicara dengan mereka melalui telefon hotel dan mereka ada di China, sepertinya menjadi biksu dan biksuni. Kejadian itu begitu mengguncang mereka. " Suara Didin pelan masih dengan nada sedih.Â
 "Saya tersadar ketika seorang pria muncul di depan saya dan saya sangat terkejut. Wajahnya begitu bersahabat bahkan penuh senyum persis seperti kita. Semuanya sama. Hanya ia mengenakan setelan jas lengkap dan bukan jubah." Didin berhenti  lagi sambil memandang wajah semua yang ada di ruangan itu berganti-ganti.
 "Dia melihat mu pak Didin?" Tanya Danish.
 "Jantung saya nyaris copot waktu pria berjas itu mengulurkan tangan kepada saya sambil berkata, Aku adalah penyambut, lalu menjulurkan tangan kepada saya. Melihat wajahnya yang begitu hangat dan ramah, tanpa ragu saya menyambut juga dengan ekspresi hangat." Didin berhenti lagi.
 Suara gamelan dari TV di pavilion samping tiba-tiba berubah bentakkan keras dan kasar. Semua yang ada di ruangan terkejut hingga menyadari itu Cuma suara seorang pemeran pria antagonis dalam sebuah tayangan sinetron. Rupanya chanel TV berganti dengan sendirinya.
 "Bikin kaget aja!" Baim terdengar ketus.