Mohon tunggu...
Franklin Towoliu
Franklin Towoliu Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemerhati masalah kehidupan

Penulis,fiksi,komik,freejournalist,perupa dan aktifis teater

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ekspedisi Ventira, Negeri yang Hilang (9)

19 April 2020   22:58 Diperbarui: 19 April 2020   23:37 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Waktu saya lagi buang air kecil itulahlah sesuatu hal yang sebenarnya sangat mengerikan menimpa saya. Tapi bagaimana ya menggambarkannya. Soalnya meskipun abdi teh ngomong mengerikan, tapi sebetulnya abdi teh sama sakali tidak meraskan apa-apa... cepat sekali kejadiannya. Seperti saya lagi tidur dan waktu bangun, langsung kajadian begitu," suara Didin terdengar agak dingin dan sedikit bergetar. 

Suasana di ruang makan penginapan ini terasa mulai mencekam. Udara yang tadi terasa agak hangat seperti mulai dijalari hawa dingin halus. Eva beringsut kecil.  Bagian belakang lehernya terasa agak tebal, lalu ia bergeser sedikit, mendekatkan tubuhnya di samping Didin. Didin melirik kecil tapi kali ini ia tak terlalu perduli karena ia juga terbawa akan kisah lalunya.

 "Silahkan di Minum dulu tehnya. Soalnya udara sudah agak dingin. Gulanya di gelas kecil ini, boleh diukur masing-masing ya, sesuai keinginan," kata Eva pelan, begitu Didin memberi sedikit jeda. "Ini masih panas, enaknya kalau langsung diseduh. Silahkan diseduh ya."

 Danish membalas dengan senyum. Waktu pertama kali di Indonesia ia sempat ke beberapa daerah dan merasa agak aneh dengan kebiasaan orang Indonesia yang makan nasi dan lauk ditemani oleh teh manis. Akhirnya toh, ia malah terbiasa bahkan agak kecanduan.

 "Woww... ini saya suka sekali, terima kasih." Akunya polos, membuat suasana yang sudah mulai agak tegang kembali berubah. "Lalu...?" kejar Danish pada Didin masih dengan nada penasaran.

"Lalu itulah... waktu saya mengangkat kepala tiba-tiba saya sudah berdiri disebuah kota yang besar, di depan gedung-gedung mutakhir dengan lampu dan cahaya yang luar biasa gemerlap. Saya berteriak kencang sekali anehnya orang-orang yang lalu lalang disekitar saya tak ada satupun yang terusik... saya meninju wajah saya beberapa kali tapi sakitnya minta ampun. Lalu saya berbalik dengan reflex mencoba menemukan sosok Mister Jaques dan Misis Lin namun mereka hilang. Tempat mereka berdiri bahkan berubah menjadi kolam air mancur yang sagat megah... jadi saya sadar kalau sedang berdiri membelakangi sebuah kolam besar di tengah sebuah taman kota yang juga tertata dengan menakjubkan." Didin berhenti. Ia meraih gelas kopi yang disuguhkan Eva tadi. "Abdi teh, melompat beberapa kali setinggi-tingginya dan sebisanya, sambil berharap akan terjatuh dari tempat tidur lalu terbangun."

Burhan dan Danish mengikuti gerakan tangan Didin dengan berdebar, berusaha menekan perasaan gugup ingin tahu mereka. Wajar karena kisah yang ingin mereka dengar ini adalah kisah yang luar biasa yang seumur hidup belum pernah mereka dengar. 

Didin tak langsung melanjutkan. Ia menyedot rokoknya dalam-dalam sebanyak dua kali. Wajahnya agak pucat. Rupanya apa yang menimpanya empat tahun silam itu begitu membekas dalam ingatannya. Ia kembali menghisap rokoknya untuk kesekian kali dan lebih dalam.  Astaga! Ternyata rokoknya mati. Rupanya karena terlalu serius,  barusan tanpa sadar ia mencelupkan rokoknya ke gelas kopi tanpa sengaja. Burhan bergegas. Ia meraih pemantik Didin yang ada dimeja lalu menyulutkannya untuk Didin. Saat itu ia tahu ada kilatan cahaya peluh yang halus di dahi Didin.

Perlahan, hawa dingin halus yang tadi memudar kini kembali menyusup. Dari kejauhan, suara burung malam terdengar di iringi suara gamelan yang mengalir dengan simponi yang ritmis. Mungkin itu suara yang terbawa angin hingga ke telinga mereka. 

Tambah hening. Mereka saling memandang satu dengan lainnya."Apa di dekat sini ada pura?" Tanya Burhan?

 "Itu bukan dari Pura. Itu suara dari televis di ruang pavilun sebelah," sosok Rainy mendadak muncul di ruang makan, nyaris mengejutkan mereka. Apalagi ia membungkus tubuhnya dengan selimut. Suaranya terdengar tenang. Bola mata coklat beningnya langsung menyapa Burhan dan Danish, seolah mengucapkan selamat malam.

"Sorry, Ini pasti Pak Burhan ya?" Rainy mengulurkan tangan menyalami Burhan yang balas mengangguk.

 "Tak salah terkaan anda non. Saya memang Burhan namun tak pakai pak. Saya punya panggilan harian, bagaimana kalau panggil saja Han?" Burhan menyambut hangat salaman Rainy. 

 "Ok, Han. Kalau iniiii...?  

 "Ini Danish... ia juga Tim Peliput dan dokumentasi. Ia dari majalah Times. Atas permintaan Mister Daniel untuk menambahkan anggota di bidang dokumentasi tapi kalau bisa dari media asing, maka saya mengajak rekan saya ini." Burhan menjelaskan. "Kalau begitu kamu pasti Raiva," Burhan balik menebak Rainy.

 "Hampir benar... Saya teman sehatinya Raiva, nama saya Rainy." Sahut Rainy dengan mata berbinar seolah senang karena Burhan tak berhasil menebaknya.

 "Oh,ya... Mister Daniel cerita banyak soal kalian berdua." Burhan tersenyum, mempertontonkan giginya yang putih dan berbaris indah. Biasa jadi ia pernah menang lomba senyum dan gigi indah Pepsoden.

 "Hi. Danish I'm Rainy. Sory, May I know your age ?" Tanya Rainy menelisik raut Danish, mengira kalau gadis asal Negara Kangguru ini masih berusia belasan tahun, sehingga dengan umur sebelia itu dipastikan ia tak akan mengijinkan Danish masuk dalam tim ekspedisi ini.

 "Sory. Saya Danish. Dari Melbourn Australia. Saya 32 tahun. Saya bekerja untuk majalah Times.  By the way,,, saya terkesima dengan mu. Anda sangat cantik, seperti Lara Croft dalam Tomb Rider.  Saya suka dan senang berkenalan dengan anda dan saya juga senang bisa bergabung dengan tim ini" puji Danish dengan jujur sambil terus menatap wajah Rainy hangat meski kalau mau jujur kebanyakan orang tak suka kalau hal pribadi seperti umur langsung ditanyakan apalagi di depan orang. Itu diangap tak sopan. Tapi Danish menepis perasaan itu. Ia yakin ada suatu hal penting dibalik pertanyaan Rainy soal usianya. lagipula Ia sudah mendengar data diri Rainy dan anggota tim lain tentu saja dari Daniel. Kata Daniel agar mereka saling menjaga sikap satu sama lain. Kata Daniel pada Danish soal menjaga sikap? Hohohooo... lucu rasanya jika disepadankan dengan sikap Daniel yang 'justru' terkesan tidak bisa menjaga perasaan orang dan seenaknya.

 "Owhhh... You look so beautiful too. To happy to meet you, Danish. Your Indonesian is very good. Ok kita ber-Indonesia saja ya?" balas Rainy. "Maaf... Dari face anda saya menebak anda berkisar 17 atau 18 tahun yang berarti pelanggaran umur dalam tim kami." balas Rainy sopan, dengan mengatakan ungkapan 'anda dan saya' sebagai sebutan ganti nama. Apalagi Danish seorang pendatang dari luar walau sudah kerja lama di Indonesia. Bagi Rainy, sebutan dan cara kita berbicara dengan orang asing seperti Danish akan merepresentasikan budaya kita yang kaya ajaran moral jika kelak ia pulang ke negaranya.

 Rainy kini telah duduk di samping Didin agar  memudahkannya menuang teh hangat yang masih mengepul. Dan akhirnya Didin terjepit diantara dua wanita pujaannya. Sebenarnya tiga. Hanya yang satu masih di kamar. Didin memang serakah. Dihadapkan tiga bidadari dan disuruh memilih oleh hatinya, ia malah memilih ketiganya. Itu berarti ia tak akan dapat satupun. Ia sebelas-duabelas dengan pak Hapri yang selalu mengimpikan Rainy dan Eva meski mereka baru sehari semalam di penginapannya.

 Dari arah dalam muncul Baim di ikuti pak Hapri. Pak Hapri terlihat hati-hati membawa nampan kayu Eboni berisi air panas, gula dan teh. Sementara Baim bersiul kecil dengan membawa sepiring  kue pisang goreng panas.   

"Maaf jangan bersiul. Itu pamali (poso). Kalau siang hari boleh." Ujar pak Hapri agak berbisik.

"Kalau malam kanapa emang, pak?" Tanya Baim. "Itu memanggil orang lain yang tak sealam dengan kita," sahut pak Hapri.

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun