Kejadian pengeboman sepekan lalu membawa keuntungan bagiku. Maaf, sebenarnya ini berita duka bukan. Ya, justru itu, aku mendapat dispensasi pulang kampung yang sulit aku dapatkan selama ini. Sebuah rutinitas yang membosankan, tapi tak perlu kuceritakan.
*****
Di kampungku, masyarakat sangat menakzimi keluarga guru ngaji. Aku putra sulung guru ngaji itu. Pewaris pesantren kecil abahku. Menjadi imam di musholla kecil di depan rumahku. Seharusnya. Aku memilih mengembara ke ibu kota bukan karena tak sudi (meski memang sebenarnya karena guru ngaji desa tak bisa sejahtera), tetapi lebih memilih tantangan sebelum aku benar-benar memimpin dan ditakzimi seperti abahku. Belajar ikhlas, menempa diri.
Tiga hari berlalu aku menghempaskan rinduku dipelukan umi, merendahkan sujudku di pelupuk kaki abah. Kedua malaikat yang selalu mendekapku dengan seribu doanya. Seperti sekejapan mata rindu ini bermuara di pusara rumah, tiba-tiba gerutukan langkah kaki memecah kekhidmatan bakda isya, ketika anak-anak merapikan karpet, sajadah, dan menggulung kain batas jamaah putra dan putri. Di balik gumuk sepikul samping rumahku banyak corong mengintai, sesekali meletupkan timah panas. Menghardik, mangancam. Jarak 7 meter di depan rumah kami, Densus menggertak agar Pak Basri menyerahkan diri. Letupan senapan itu kembali menghardik.
"Serahkan dirimu, kami tidak akan menembak!" Perintah Densus itu.
Santri-santri menggigil ketakutan. Adikku mendekap abah seketika. Di depan pintu kamar belakang umi terperanjat, "Ada apa Bah?"
"Polisi."
"Diperingatkan, serahkan diri, kami tidak akan menembak!"
Kami di rumah tak menjawab. Aku kebingungan, apa salah kami. "Abah?"
"Kami ingatkan sekali lagi, atau kami terpaksa menembak."
Saat bangkit dari kursinya, abah terduduk sambil mengelus dadanya. Gertakan dan suara senapan itu mendebarkan jantung abah. Sementara peluru sudah menembus kaca depan rumah. Di udara bersahutan letupan senapan itu. Kami menggiring tubuh abah berkumpul di ruang dapur.