Mohon tunggu...
Fatchurrachman Soehari
Fatchurrachman Soehari Mohon Tunggu... -

Fatchurrachman, lahir di Purwokerto 16 Februari 1950, aktif menulis terutama tentang spiritual dan humanisme setelah pensiun tahun 2006, setelah aktif selama 36 tahun di RRI. Selain menulis di blog pribadinya http://fatchurrachman.blogspot.com dan blog berbahasa Banyumasan http://blangkon.kecut.blog.plasa.com, aktif berceramah tentang spiritualisme, humanisme dan kesetaraan. Tinggal di desa Purwosari, Kecamatan Baturaden, Banyumas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Matahari Emak (3)

19 November 2010   23:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:27 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku hanya berdiri mematung sambil memegangi tangan Nenek. Aku memang lebih akrab dengan Nenek dan Kakek dibandingkan dengan Emak dan Bapak. Karena aku tidak mendekat, Emak menghampiri aku. Mengangkatku dalam gendongannya. Aku merasa sangat aneh ketika Emak menciumku.

"Mulai hari ini, Emak tidak akan pernah lagi meninggalkan kamu," kata Emak sambil mengelus rambutku. Aku hanya memandangi wajah Emak. Benar-benar hanya memandangi karena aku tidak tahu harus berkata apa. Aku masih belum dapat memahami apa yang sedang terjadi di rumah ini, kecuali Bapak datang bersama Emak, kakak dan adikku. Mereka berdua asyik bermain dengan mainannya, dan aku hanya memandanginya dari gendongan Emak.

"Kamu juga mau main seperti kakakmu dan adikmu ?" tanya Emak. Dan kali ini pun aku hanya memandang wajah Emak.

"Dia itu mungkin merasa aneh sama kamu, Par," kata Nenek. Dan ketika Emak menurunkan aku dari gendongannya, aku tidak lari mendekati saudaraku, melainkan aku lari ke kamar mengambil bola. Sambil membawa bola aku lari ke lapangan. Menendang-nendang bola sendiri, sebelum akhirnya kakak dan adikku bergabung denganku. Kami bermain tanpa berkata-kata. Aku masih merasa aneh, karena tiba-tiba punya teman bermain. Biasanya aku bermain bola dengan Kakek, atau kalau tidak, ada anak-anak sebaya aku dari rumah yang agak jauh dengan rumahku datang. Kemudian mereka menjadi temanku. Aku mulai mengenal nama mereka, Sudir, Warno, Tohir, Sudar, Sardi, Rikun dan banyak lagi yang lain. Mereka kadang-kadang bergabung denganku jika aku sedang menendang-nendang bola. Lalu kami terlibat dalam permainan yang menyenangkan.

Tetapi kali ini aku bermain dengan saudara kandungku sendiri. Seharusnya aku senang karena sudah lama sekali tidak pernah berkumpul dengan mereka. Aku masih belum mengenal perhitungan waktu, sehingga aku tidak tahu berapa lama Bapak membawa Emak dan kakakku ke Cirebon sampai adikku lahir di sana. Yang kuingat, kakakku Tofik masih sekolah di Taman Kanak-kanak ketika mereka kembali ke Purwokerto. Aku belum sekolah, tetapi tiap pagi melihat Tofik berdandan memakai baju sekolah, bersepatu, dan aku dengar dia sekolah di TK Ibu Is. Bahkan sekolahnya pun baru aku ketahui lokasinya ketika aku sudah mulai besar. Sebuah sekolah yang letaknya kira-kira lima kilometer dari rumah kami. Sangat jauh. Waktu itu hanya Tofik satu-satunya anak kecil di desaku yang sekolah di kota. Umumnya anak-anak sebaya kami masih belum sekolah. Bahkan mereka tidak mengenal sekolah TK. Biasanya mereka langsung masuk Sekolah Rakyat. Dulu kami menyebutnya SR, dan belakangan istilah itu diganti menjadi Sekolah Dasar atau SD.

Mungkin karena letak sekolah yang sangat jauh itulah penyebabnya sehingga ketika aku pun harus sekolah di TK, aku merasa agak malas. Bukan di TK Ibu Is, melainkan di TK Aisiyah yang baru saja dibuka. Pada pagi hari pertama aku dibangunkan sekolah, mataku terasa masih sangat berat. Tidak hanya perasaan kantuk saja yang menyebabkan aku malas, tetapi untuk pergi dari rumah ke kota hanya diantar oleh Lik Marno - adik sepupu Emak - rasanya sangat aneh. Aku harus meninggalkan rumah. Meninggalkan Nenek. Padahal aku tidak bisa berpisah lama dengannya. Maka ketika Lik Marno sudah menyiapkan sepedanya, aku tidak mau turun dari gendongan Nenek. Tanganku kulingkarkan ke leher Nenek dan wajahku kusembunyikan di belakang kepalanya. Semua orang membujuk. Akhirnya sambil agak dipaksa, aku digendong Lik Marno untuk kemudian didudukkan di boncengan sepeda. Aku menangis ketika Lik Marno mengayuh sepeda menjauh dari rumah. Tidak kupedulikan bagaimana Lik Marno membujukku agar tidak menangis.

Sampai di sekolah pun aku tidak mau masuk ke kelas. Aku pegangi tangan Lik Marno erat-erat karena khawatir ditinggal pergi. Tidak hanya aku, kawan-kawan yang lain pun begitu. Memang ada sebagian yang berani. Mereka tidak menangis dan bahkan berlari-larian di halaman sekolah, atau sesekali bermain ayunan. Mereka tidak peduli walaupun pengantarnya sudah pulang. Aku ingin seperti mereka. Tetapi aku tidak berani. Bahkan ketika aku disuruh duduk di bangku kelas, aku tidak menghadap ke depan tempat Ibu Guru mengajar. Aku menghadap ke belakang supaya dapat melihat Lik Marno.

Keadaan seperti itu berlangsung lama, dan Lik Marno menjadi korbanku karena ia harus ikut duduk di bangku menemaniku sampai pelajaran selesai. Jadi sebenarnya aku tidak bahagia sekolah di TK. Aku merasa tersiksa karena waktu bermainku berkurang. Aku baru mulai merasa senang berada di sekolah sejak masuk ke Sekolah Rakyat -SR- Al-Irsyad. Sekolah ini terletak tidak jauh dari Alun-alun Purwokerto, bahkan bersebelahan dengan Pendopo Kabupaten Banyumas. Bukan sekolah negeri. Bapak yang memilihkan sekolah itu mengikuti Tofik -kakakku-. Aku tidak pernah tahu alasan Bapak mengapa aku harus bersekolah di situ. Satu-satunya yang aku tahu adalah, aku merasa berbeda dengan teman-teman sepermainanku di desa. Jika mereka libur hari Minggu, aku libur hari Jumat. Mereka diajar oleh Guru Kelas, aku diajar oleh Guru Bidang Studi. Hanya ada beberapa pelajaran yang sama, yaitu Berhitung, Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Umum yang memang menjadi mata pelajaran wajib yang akan dijadikan materi ujian nasional. Selain itu, aku mendapat pelajaran Bahasa Arab, termasuk khotmil qur'an, Aqoid, Lughot, dan tentu saja pelajaran keagamaan -khususnya Islam- secara amat intensif. Sehingga aku mengenal huruf Arab, yang disebut huruf Hijaiyyah, dan huruf Latin melalui pelajaran lain. Tetapi aku tidak mendapat pelajaran Bahasa Jawa, sehingga aku tidak dapat menulis dan membaca huruf Jawa yang disebut ha-na-ca-ra-ka.

Kawan-kawan sekolahku Sembilan puluh persen adalah keturunan Arab. Aku menjadi minoritas di sini. Tetapi aku senang, karena walaupun minoritas, ternyata murid-murid terpandai yang acapkali terpilih menjadi pelaja teladan adalah siswa dari kelompok ini. Teman-temanku yang keturunan Arab, sangat fasih berbahasa Arab. Jika pelajaran bercakap-cakap dalam Bahasa Arab, mereka jagonya. Aku cukup menjadi penggembira saja.

Walaupun demikian, di rumah, di antara teman-teman sepermainanku di desa, akulah yang paling pandai membaca Al Quran. Tetapi aku menyerah jika harus membaca tulisan Jawa. Maka aku sering disebut Arab-Jawa oleh teman-teman sepermainanku. Orang Jawa yang tidak tahu tulisan Jawa.

Tetapi Emak yang selalu menjadi penolongku sehingga semua kesulitan dapat aku atasi. Walaupun Emak bukan seorang wanita yang menonjol di masyarakat, tetapi bagi aku dan saudara-saudaraku, dia adalah superwomen. Berbeda dengan Bapak yang lebih suka mengekspresikan hidupnya di tengah masyarakat, mengurus orang banyak di sebuah organisasi besar, Emak lebih banyak di rumah. Dan yang dikerjakannya adalah membantu anak-anaknya. Aku merasa istimewa setelah bersama Emak, Bapak, Tofik, Dayat tinggal di sebuah rumah yang sederhana bersama Kakek dan Nenek. Rumah yang semula -menurut pendapatku- terlalu besar, kini bahkan terasa sempit. Apalagi ketika kemudian Emak memberi kami seorang adik lelaki lagi yang diberi nama Hadi. Rumah jadi semakin hangat.

Kedatangan adik-adik baru masih terus berlangsung. Setelah Hadi, kemudian lahir Hanif, lalu Farida, diikuti oleh Lulus dan Dadi. Semuanya lahir di rumah kami di desa Bobosan. Rumah yang tidak saja hangat, namun juga amat hiruk pikuk. Karena selain kami sekeluarga, Kakek, Nenek, masih ada saudara-saudara Bapak dan Emak yang tinggal di situ. Mereka menjadi bagian keluarga yang benar-benar besar. Semuanya ditampung oleh Bapak yang ketika itu mendirikan pabrik kacang asin.

Tetapi Emaklah nafas semuanya. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun