Deflasi, ,merupakan fenomena penurunan harga secara umum di suatu wilayah, seringkali dianggap sebagai tanda buruk bagi perekonomian. Namun, dalam beberapa kasus, deflasi dapat memiliki dampak positif, terutama jika disebabkan oleh penurunan harga komoditas penting seperti pangan. Pada bulan Oktober 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa deflasi yang terjadi selama lima bulan terakhir di Indonesia tidaklah sinyal negatif bagi perekonomian. Sebaliknya, ia menganggapnya sebagai perkembangan positif, terutama terhadap daya beli masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) deflasi merupakan penambahan nilai mata uang, antara lain dengan pengurangan jumlah uang kertas yang beredar dengan tujuan mengembalikan daya beli yang yang nilainya turun.
Deflasi dan Daya Beli Masyarakat
Deflasi yang terjadi di Indonesia sejak Mei 2024, dengan rincian deflasi 0,03 persen pada Mei, 0,08 persen pada Juni, 0,18 persen pada Juli, dan 0,03 persen pada Agustus, telah menunjukkan tren yang signifikan. Pada September 2024, deflasi bulanan mencapai 0,12 persen, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Penurunan harga ini terutama disebabkan oleh komponen harga bergejolak (volatile food) yang berkaitan dengan komoditas pangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa penurunan harga pangan berdampak baik bagi konsumen di Indonesia, terutama kelas menengah ke bawah yang mayoritas belanjanya adalah untuk makanan. "Deflasi lima bulan terakhir terutama dikontribusikan penurunan harga pangan. Menurut saya, ini suatu perkembangan positif, terutama terhadap daya beli masyarakat," kata Sri Mulyani dikutip dari Kompas, Jumat (4/10) lalu.
Inflasi Inti dan Deflasi
Meskipun deflasi telah berlangsung selama lima bulan, inflasi inti masih bertahan di atas 2 persen pada September 2024, sebesar 2,09 persen (year-on-year/yoy). Inflasi inti ini menunjukkan bahwa permintaan masih cukup tinggi, sehingga tidak mengurangi optimisme kebijakan fiskal dalam menstabilkan harga.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga memberi penjelasan di balik tren deflasi lima bulan beruntun. Ia menerangkan bahwa komponen inflasi terdiri dari inflasi inti dan komoditi pangan yang bergejolak. Menurut dia, volatile food sedang ditekan turun, dan nantinya akan berdampak baik untuk masyarakat. Sementara, pertumbuhan ekonomi tercermin dalam inflasi inti yang kini tercatat naik.
Persepsi Ahli dan Pengusaha
Namun, tidak semua ahli dan pengusaha setuju dengan pandangan Sri Mulyani. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengaku gelisah kondisi ini bakal berpengaruh pada tingkat konsumsi masyarakat. "Yang kami khawatirkan adalah ini semua berpengaruh juga kepada daya beli. Ini yang sebenarnya menjadi kunci utama," ujar Shinta usai sarasehan Kadin bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Menara Kadin, Rabu, 2 Oktober 2024.
Pengaruhnya terhadap daya beli menurut dia, penting dicermati karena konsumsi domestik selama ini menjadi kunci utama pertumbuhan ekonomi RI. Hal ini tercermin dalam indikator Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur. Demand atau permintaan selama ini memegang peranan penting, dan demand domestik jauh lebih besar dibanding internasional.
Tidak hanya Indonesia, beberapa negara Asean juga alami deflasi secara bulanan seperti, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.
Belajar dari Kasus Jepang
Kasus deflasi di Jepang merupakan salah satu contoh paling parah dari fenomena ini, yang dimulai setelah pecahnya gelembung harga aset pada awal 1990-an. Setelah periode pertumbuhan pesat di akhir 1980-an, di mana harga saham dan properti melonjak, Jepang mengalami penurunan harga yang berkepanjangan, dikenal sebagai "lost decade." Selama lebih dari dua dekade, deflasi mengakibatkan stagnasi ekonomi, dengan penurunan konsumen yang menahan pengeluaran karena harapan harga akan terus menurun. Hal ini menciptakan spiral deflasi yang sulit dihentikan, di mana perusahaan mengurangi investasi dan memotong biaya, termasuk pemotongan upah dan PHK. Gubernur Bank of Japan (BoJ), Haruhiko Kuroda, telah berulang kali menyatakan bahwa deflasi berkelanjutan ini mengancam pertumbuhan ekonomi dan inovasi, serta menciptakan tantangan bagi kebijakan moneter yang berusaha untuk mendorong inflasi kembali ke target yang diinginkan. Meskipun upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini melalui kebijakan moneter yang agresif, seperti suku bunga negatif dan pembelian obligasi besar-besaran, dampak jangka panjang dari deflasi tetap menjadi tantangan besar bagi perekonomian Jepang
Apa Selanjutnya ?
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) telah menyebutkan beberapa solusi yang diutamakan untuk mengatasi deflasi yang terjadi di Indonesia, terutama yang disebabkan oleh penurunan harga komoditas pangan. Berikut adalah beberapa solusi yang dia sebutkan:
1. Mengkaji Lebih Lanjut Penyebab Deflasi :
Zulhas mengatakan bahwa pemerintah akan mengkaji lebih lanjut penyebab deflasi, termasuk apakah penurunan harga komoditas pangan disebabkan oleh stok yang berlebih atau daya beli yang turun
2. Mengatasi Stok Komoditas yang Berlebih :
Dia menekankan bahwa stok komoditas pangan yang berlebihan adalah salah satu penyebab utama deflasi. Misalnya, penanaman pangan yang sempurna dapat menyebabkan stok yang berlebih dan harga yang terlalu murah.
3. Menggunakan Dana APBD untuk Mengendalikan Inflasi:
Zulhas juga menyebutkan bahwa pemerintah memiliki strategi untuk mengendalikan inflasi dengan menggunakan dana dari Anggaran Belanja Tak Terduga (BTT) dari APBD.
4. Mengawasi dan Mengendalikan Harga Komoditas Pangan:
Pemerintah juga perlu mengawasi dan mengendalikan harga komoditas pangan untuk mencegah harga yang terlalu murah dan berdampak negatif pada petani dan peternak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H