Lalu apa yang mati?
Hanya jasad, toh memang selama ini hanya hidup dengan hati.
Hati yang mana?
Hati yang tak pernah datang mengiba pada besar kepala manusia.
Mas Danarto, karyamu tetap abadi, tak pernah ada yang meninggalkan atau ditinggalkan.
Walaupun para pejalan menyimpan erat kenangan, tapi berkata adalah cara kita berbicara tentang keabadian.
Itu kan harapan mu. Harapan kita. Harapan kami. Atau telah menjadi ratapan mereka?
Dunia terlalu lelah menyimpan kebaikan dan kebersahajaan mu, kesabaran dan niatan baik mu pada hidup.
Maka bangkitlah mas, dimensi waktu berbeda hendak melihat kata-kata itu. Kata-kata yang tak menjadikan mu apa-apa, kata-kata yang hanya membuat masa tua mu berteman dengan koran bekas dan cat lukis dekat kanvas.
Kami berdoa mas, dalam penantian hingga waktu akhir nanti, segala doa tetap iringi perjalanan mu, bersama anak cucu kami yang tetap membaca buku usang mu.
Abadi lah kata-kata.