“Andini, bangun. Sudah siang. Ini aku bawakan sarapan dari rumah. Tadi sekalian aku antarkan gadis sekolah, lalu aku mampir menengok keadaanmu. Gadis menanyakan keadaanmu lagi din, dia bilang agar tante Andini cepat kembali seperti dulu.”
Pagi itu langit terlihat sendu, ada yang rancu pada tatap sinarnya, membuat teduh orang dibawah langit bumi. Tak terlihat cahaya menyelinap masuk dari celah korden ungu di kamar Andini, kusibakkan sebentar korden yang menutup ruang agar cahaya dapat masuk. Cahaya mentari yang dapat membangunkan pada tidur panjang manusia pada lelah harinya.
Masih berselimut dengan kain putih, membalut tubuh mungil andini dari ujung kaki hingga kepala. Andini, gadis cantik sahabatku. Sejak kecil kami bersahabat dekat. Mengarungi ganasnya kehidupan pun bersama, tak pernah ada rahasia yang ditutupi dari kedekatan kami. Hingga beberapa waktu lalu celaka dunia menghantam andini, kini tubuh dan hatinya remuk tak teredam lagi. Ketika sadar, biasanya Andini hanya memaku diri diatas tempat tidur, atau berceloteh dengan nyanyian dan gumaman yang bahkan tak satu setanpun dapat memahami, terkadang jeritan dan pekikan bagi siapapun yang mendengar merasa bergidik juga dilontarkan andini jika ruang imajinernya mengembalikan ingatannya pada peristiwa malam itu.
Andini kehilangan dunianya, kehilangan kewarasan dan kesejatiannya sebagai perempuan. Entah siapa yang harus aku kutuk atas hal ini. Semua sudah tergaris begitu rupa. Kini bagiku, andini tetap sahabat kecilku yang dititipkan padaku oleh ibunya. Ibunya yang telah setahun lalu berpulang, sekarang andini sebatang kara, tak lagi memiliki saudara. Tidak, dia memiliki aku sebagai sahabatnya yang melebihi saudara bagiku juga baginya dan mawar-mawar merah yang menjadi genggaman setia dalam kehidupannya sehari-hari.
Aku mencoba singkapkan selimutnya untuk membelai rambut panjang andini. Menjuntai hingga menghiasi bibir kasur yang ditidurinya. Kutatap dalam-dalam tubuh dan wajah sahabatku itu, persis seperti kelopak mawar yang sedang bermekaran. Aku selalu kagum atas pesona keanggunan andini, memang sejak dulu andini selalu menjadi yang pertama dalam hal menarik perhatian lawan jenis. Sementara aku selalu terbenam dalam rasa malu jika ada pria yang tertarik padaku.
Namaku Sekar, aku ibu beranak satu dari perempuan kecil bernama Gadis. Andini dulu begitu menyayangi anakku Gadis. Jika bertemu, Gadis dan Andini selalu saja mesra. Jika awam melihat maka mereka akan mengira Andini adalah ibu dari anak manis itu. Namun, sekali lagi, sejak kejadian beberapa waktu lalu, Andini hanya dapat menatap Gadis dengan tatapan kosong nan sayu jika bertemu. Gadis pun hanya bertanya sesekali, kapankah Andini akan kembali.
Aku beranjak ke dapur untuk membuatkan segelas susu hangat dan sarapan untuk andini, sempat kulihat tangkai mawar yang mulai mengering disudut kamar Andini, mulai menghitam sejak beberapa hari lalu dibawanya dari seorang pria yang baru saja dikenalnya. Mawar yang menjadi saksi betapa birahi adalah petaka bagi Andini. Sejenak ku berfikir untuk membawa mawar ini dan membuangnya ke tempat sampah di dapur. Nanti akan kugantikan dengan yang baru, fikirku.
Sebagai seorang perempuan, adalah hal wajar jika mengagumi keindahan tangkai mawar, bunga itu memang begitu wangi pada kelopaknya, warnanya pun memikat siapa saja yang melihatnya. Merah merekah seperti warna kentalnya darah menetes dari surga cinta yang terjaga oleh perempuan sepertiku dan Andini.
Sejak dulu Andini begitu meyukai bunga mawar, dimanapun ada tangkai mawar dia rela menghabiskan waktu untuk sekedar menciumi wangi semerbaknya. Jika tak dapat dimiliki dan digenggam, maka Andini hanya memandangi dan menghirup wanginya saja, tak pernah ia paksakan mencerabut tangkai indah sang mawar dari pohonnya.
Tentu Andini sadar, dengan memaksakan kehendak untuk memiliki mawar, maka ia akan merusak hidup sang mawar, membiarkannya mati dan menghitam. Jika sudah begitu, mawar menjadi bangkai bunga yang tak pantas dinikmati keindahannya. Jangankan wangi semerbak dari kelopaknya, warna merahnya saja sudah pudar berganti hitam legam yang tentu tak ingin orang untuk memandangnya.
“Aaaaaaaaa, mawarkuuuuuuuuu, aku mau mawarkuuuuuu. Dimana mawarkuuuuuu.”
Pekikan itu mengagetkanku, teriakkan histeris Andini begitu memecahkan hening bening suasana pagi itu. Bergegas aku hampiri Andini untuk menenangkannya. Pemandangan yang membuat hatiku teriris melihatnya. Andini seperti kehilangan dirinya, dia masuk dalam rona dan tabir kelam imajinernya tentang mawar yang selalu digenggam. Membuka luka lama perih menyayat hadirnya kedustaan tentang cinta yang dibiarkan membusuk menjadi bangkai di pundak seorang perempuan seperti Andini.
Aku coba menenangkan sahabatku itu, aku dekap dan peluk erat Andini dari belakang. Jiwanya berlarian entah kemana. Aku memeluk raga hampa saat ini, yang sesekali berontak dari dekapan ku. Tanpa sadar air mataku pun menetes dari kelopak mataku. Aku tak tega melihat kondisi sahabat terkasihku sekarang, sungguh tak tega. Keceriaannya dulu, hiruk pikuk, senyum sungging, dan pesona tawa dari Andini hilang lenyap terbawa taufan yang menggulung menyapu debu. Trauma mendalam dialami Andini, entah sampai kapan jiwanya akan pulang. Sampai saat itu tiba, aku akan selalu mengasihinya.
“Andini, ini aku Sekar. Aku Sekar sahabatmu, din. Sadarlah Andini. Mawar laknat itu sudah kubuang. Tak pantas lagi kamu cari dan tangisi. Aku akan carikan setangkai mawar untukmu. Sudah Andini, sudah.”
Andini masih saja kacau dalam ceracaunya, berjalan tak tentu arah di kamarnya. Rambut yang tergerai indah beberapa saat lalu, kini sudah tak karuan. Beberapa jambakan pada rambutnya sendiri membuat keanggunan mahkota Andini lenyap. Tatapan matanya nanar, kosong, hampa dan menyedihkan. Bulatan biru di sekitar kelopak mata tak dapat menyembunyikan betapa dahsyat tangisan yang diderukan Andini pada hari-hari sebelum ini.
Aku memohon sambil mengiba dan terus meneteskan air mata. Aku tak tahan dengan teriakan menyayat dari bibir perempuan yang juga sahabatku ini. ‘Plaakkk’ satu tamparan mendarat keras di pipi Andini. Jika dengan membunuhnya aku dapat menghilangkan derita raga dan batinnya maka akan aku lakukan. Aku sungguh menyayangi Andini lebih dari aku menyayangi diriku sendiri.
Andini meringis kesakitan. Sedikit membekas tamparanku diwajahnya. Menambah rona lebam bekas peristiwa malam itu. Aku lantas memeluknya erat. Lebih erat kali ini. Sambil menangis dan meminta maaf atas perlakuan ku. Andini masih saja terdiam, duduk terpaku dibibir kasur. Matanya masih saja nanar menatap kosong, sendu terlihat, tetesan air mata mengalir satu persatu dari matanya, mengaliri wajah cantiknya yang tak tertutupi oleh kepalsuan macam apapun.
Kutoleh keluar jendela dengan masih memeluk Andini, ada setangkai mawar yang baru saja mekar di kebun depan rumah Andini. Lantas kutarik Andini menuju kebun rumahnya, sedikit kupaksa, karena Andini enggan beranjak dari tempat ia bersedekap dengan lutut. Seperti manusia yang sedang didera siksaan batin dengan hebat. Andini bersuara sedikit. Dalam suaranya aku hanya mendengar kata ‘mawar’ yang ia lantunkan dalam isak tangisnya.
Aku berhasil membawa Andini ke hadapan kebun bunga yang pernah ditanam ibunya bertahun silam. Menyisakan beberapa tangkai bunga segar yang senantiasa Andini rawat selepas ibunya berpulang.
Kini aku, membiarkan ia bersenda gurau dengan mawar yang baru saja mekar di hadapannya. Andini hanya menatapnya dari dekat sambil sesekali menghirup aroma mawar itu dalam-dalam. Sesekali Andini tersenyum dan menoleh kepadaku tanpa berujar sepatah kata pun. Namun wajahnya telah melukiskan makna tersirat dari sunggingan senyum tulus Andini.
Dalam hati aku bertanya, sebegitu jernihnya kah perlakuan Andini terhadap mawar itu. Ia tak ingin memaksa untuk memilikinya dengan mencerabut mawar dari tangkai. Ia hanya menikmati apa yang sewajarnya ia nikmati, tanpa harus merusak hidup sang mawar.
Bersamaan dengan itu ada bunyi pesan singkat masuk ke ponselku, segera kulihat barangkali ada kabar yang penting untuk diriku. Suamiku ternyata. Ia menyampaikan pesan, jika pelaku pemerkosaan terhadap Andini sudah ditemukan dan berhasil ditangkap oleh pihak yang berwajib. Kini aku memahami, senyum tulus Andini dihadapan mawar, mengartikan bahwa dirinya telah kembali.
Cerpen Pertama.
Masih harus banyak berimajinasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H