Mohon tunggu...
Igman Yuda Pratama
Igman Yuda Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa dan buruh freelance -

Seorang nomaden dan penjelajah alam. Lahir di kota angin, Nganjuk. Bercita-cita mengunjungi semua negara di dunia. Saat ini tengah menempuh studi Ilmu Politik di UIN Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Upaya Penegakan HAM Sepanjang Orde Baru sampai Reformasi

2 Desember 2015   06:58 Diperbarui: 2 Desember 2015   07:30 1507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tujuan manusia adalah menjadi manusia seutuhnya, bebas dari segala belenggu, bebas menentukan nasibnya sendiri. Begitulah isi kutipan yang sering dilontarkan Pramodya Ananta Toer, eks tapol di era orde baru. Pasalnya, beliau dipenjarakan dan kerap mendapatkan perlakuan sewenang-wenang tanpa peradilan dan pembelaan. Wacana HAM (Hak Asasi Manusia) memang sudah bergulir sejak lama, yaitu pada tahun 1215 dalam undang-undang magna charta. Lahirnya magna charta yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja merupakan cikal bakal lahirnya HAM kedepannya. Tetapi, dalam praktiknya sampai sekarang masih menjadi polemik.

Bangsa Barat yang sangat mengagung-agungkan HAM pun dalam kenyataan kerap melakukan tindak pelanggaran HAM berat, bahkan sangat keji. Pembataian kaum muslimin di Afganistan dan Irak bisa dijadikan tolak ukur kebiadaban bangsa Barat. Bangsa yang memuja HAM pun masih bisa mengingkari pelaksaan HAM.

HAM merupakan hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan YME. Dalam rumusan pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia Vide Tap MPR No. XVII/MPR/1998, HAM meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi, hak keamanan, dan kesejahteraan yang tidak boleh dirampas atau diambil oleh siapapun. Piagam HAM dibuat ditahun yang sama dikala pelanggaran HAM berat yang terjadi di tanah air, yaitu kerusuhan 13-15 Mei 1998. Ratusan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa, dan penjarahan harta benda terjadi dimana-mana.

Hak-hak asasi juga diatur dalam UUD 1945, hak-hak warga negara dalam pasal-pasal 27, 28, 29, 30, 31, 33 dan tentu saja dalam pemukaan UUD 1945. Hak-hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia karena martabatnya sebagai manusia dan bukan diberikan oleh masyarakat atau negara. Semua manusia sebagai manusia memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama. Menurut Szabo tujuan hak asasi manusia adalah mempertahankan hak-hak manusia dengan sarana kelembagaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat Negara dan pada waktu yang bersamaan mendorong perkembangan pribadi manusia yang multidimensiona.[1]

Penegakan HAM di Indonesia menuai langkah poco-poco. Pemerintah menilai penegakan HAM di Indonesia sudah berjalan sesuai dengan koridor, bahkan menganggap negara Indonesia beralaskan HAM. Tetapi, dalam praktiknya pemerintah masih mengkerdilkan nilai-nilai HAM yang digaung-gaungkan. Berbagai peristiwa pelanggaran HAM kerap terjadi di masyarakat. Persis seperti senam poco-poco yang sangat bersemangat tetapi jalan ditempat. Maju mundur maju mundur, gambaran pemerintah dalam melaksanakan HAM selama ini.

Hal ini dapat dilihat dalam upaya pemerintah mengatasi pelanggaran HAM berat selama era orde baru sampai reformasi. Pemerintah terkesan berbelit-belit, tidak tuntas dan saling tuding mencari kambing hitam. Kasus pembunuhan munir dan marsinah yang tidak tuntas, merupakan bukti bahwa pemerintah tidak benar-benar serius dalam menegakkan HAM. Apalagi yang berbuat pelanggaran HAM adalah aparat pemerintahan, pemerintah menutup rapat-rapat kasus tersebut. Skenario cerita dan hukum pun bisa direkayasa sedemikian rupa.

Kasus Marsinah merupakan contoh kebalnya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan, dalam kasus Marsinah pelanggarnya adalah Komando Distrik Militer (Kodim). Padahal, Menurut UU no.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.[2] Untuk itu, semua aparat pemerintahan apapun alasannya juga harus diadili dengan seadil-adilnya sama dengan warga negara yang lainnya. Hukum harus tak pandang bulu. Jangan hanya hukum berlaku bagi pencuri kambing, ayam, sapi, yang memang semua obyeknya berbulu.

Terkait kasus Marsinah, pemerintah semestinya segera mengusut tuntas kasus pembunuhan Marsinah sampai selesai tanpa intervensi oknum-oknum hingga mendapatkan hasil yang nyata, dan menegakkan tiang keadilan dan ketegasan dalam kerapuhan hukum di Indonesia sehingga rakyat dapat kembali mempercayai peranan dari pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menegakkan HAM di Indonesia. Apabila masyarakat sudah percaya, keamanan dengan sendirinya akan berjalan. Kejahatan timbul karena kurang percayanya masyarakat akan para penegak hukum.

Menurut saya reformasi di bidang hukum dan HAM perlu dicanangkan. Hukuman tentang pelanggaran HAM perlu diperberat lagi, agar menimbulkan efek jera. Para penegak hukum pun juga harus dirobak total, sudah menjadi hal yang umum bahwa hukum di indonesia berprinsip wani piro. Penegak hukum yang adil dan jujur sudah dirindukan masyarakat. Aparat pemerintah harus merubah paradigma penguasa menjadi pelayanan masyarakat. Aparat pemerintah memang tugasnya mengayomi masyarakat, tetapi yang terjadi adalah penguasa yang bertindak kurang ajar.

Penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal maupun konflik vertikal yang terjadi di tanah air juga harus segera diselesaikan. Beberapa kasus pelanggaran HAM bermula dari kasus ini. Seperti kasus kerusuhan antara Syiah dan Sunni di Sampang Madura, kasus ambon berdarah. Perbedaan ideologi dan paham seharusnya bukan lagi menjadi problem, masyarakat harus menyadari pentingnya pluralitas dan multikulturalitas. Untuk itu pentingnya diadakannya dialog antar paham untuk menyelaraskan pemikiran bersama. Juga diadakanya seminar-seminar akan pentingnya kebersamaan dan perbedaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun