Mohon tunggu...
Embun Pagi
Embun Pagi Mohon Tunggu... Lainnya - Mencoba Bahagia

Aku adalah aku, bukan kamu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menanti Sikap Kenegarawanan Seorang Puan

13 Agustus 2021   10:49 Diperbarui: 13 Agustus 2021   10:50 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai perempuan, saya paham betul gimana rasanya jadi mbak Puan. Hati tentu sakit, ketika tiap hari menerima bullyan dan cacian. Wanita mana tak sakit hatinya, bila tiap hari dicaci maki. Dan wanita mana yang tak bahagia, jika tiap hari selalu dipuja dan disanjung hatinya.

Usai kisruh dengan Ganjar Pranowo dan munculnya ribuan bahkan mungkin jutaan baliho di jalanan, mbak Puan memang jadi sorotan. Bukan sorotan positif, tapi lebih banyak masyarakat yang berpandangan negatif. Lihat saja timeline medsosnya. Apapun postingannya, komentar nyinyir bahkan sadis dari netizen +62 mengikutinya.

Lagian kenapa sih mbak Puan pake pasang-pasang baliho segala. Sudah tahu kondisi lagi susah, malah bikin masalah.

Tapi mungkin saja pemasangan baliho itu bukan inisiatif mbak Puan. Itu adalah perbuatan orang-orang di sekelilingnya yang gila jabatan. Mereka berpikir, mbak Puan akan semakin terkenal jika wajahnya marak terpampang.

Jauh panggang dari api. Pemasangan baliho mbak Puan justru menimbulkan tragedi. Publik marah, menganggap mbak Puan tak punya empati. Daripada buat baliho, mending uangnya dibagi ke rakyat! Rakyat nggak butuh baliho! Baliho nggak bikin perut kenyang!. Begitu teriak mereka.

Aksi penolakan baliho mbak Puan terus terjadi. Di media sosial dan media mainstream, publik protes kencang soal ini. Bahkan di beberapa lokasi, baliho mbak Puan jadi sasaran vandalisme. Ditulisi kalimat tak senonoh, hingga digambari. Terbaru, baliho mbak Puan bahkan digunakan warga sebagai penutup WC yang sangat menjatuhkan harga diri.

Kondisi semakin parah saat pengumuman hasil survei dari sejumlah lembaga sigi. Elektabilitas dan popularitas mbak Puan tetap konsisten di bawah urutan menengah ke bawah. Ia kalah saing jika dibanding saingan terberatnya. Ganjar Pranowo.

Charta Politika merilis, dari banyak nama yang disurvei sebagai Capres 2024, Ganjar jadi pemenang dengan capaian 16,2 persen. Sementara mbak Puan, berada di urutan 17 dengan capaian 0,7 persen saja. Jika simulasi hanya dilakukan dengan 10 nama beken saja, Ganjar juga unggul dengan capaian 20,6 persen. Sementara lagi-lagi, mbak Puan di urutan kesembilan dengan hasil 1,4 persen. Ketika survei dilakukan pada 5 nama, mbak Puan langsung lenyap dari daftar keterpilihan.

Dan yang paling menyakitkan. Charta juga melakukan survei dengan obyek penelitian kader PDIP. Hasilnya mencengangkan, mayoritas kader banteng memilih Ganjar sebagai Capres 2024. Bukan mbak Puan. Ganjar didukung 44,7 persen kader PDIP, sementara mbak Puan hanya didukung 4,8 persen kadernya saja. Jadi asumsinya, kader yang kemarin pasang baliho bisa jadi bukanlah loyalis Puan. Perintah partai pasang baliho mbak Puan dilakukan, hati tetap jatuh cinta pada Ganjar.

Jurus andalan baliho ternyata tak bisa membuat mbak Puan terbang. Tagline Kepak Sayap Kebhinnekaan hanya jadi sebuah tulisan. Mbak Puan nyatanya tetap di dasar, sambil tertatih untuk mengejar.

Lebih baik mbak Puan lupakan panggung Pilpres 2024. Saat ini, hal yang paling mendesak dilakukan mbak Puan adalah mengembalikan nama baik dengan menempatkan dirinya pada sosok negarawan. Saya kok membayangkan, jika mbak Puan hari ini berdiri tegap, menyatakan sikap bahwa pemasangan baliho bergambar dirinya tidak tepat dan memerintahkan seluruh kadernya mencopot. Publik akan memberikan apresiasi padanya.

Misalnya begini, mbak Puan mengundang wartawan dan melakukan konferensi. Dengan bahasa santunnya, ia meminta maaf pada rakyat karena telah menyakiti hati. Baliho-baliho bergambar dirinya diminta dicopot, karena tak pantas dengan kondisi negeri.

Sebagai permohonan maaf, mbak Puan juga menegaskan akan fokus pada penanggulangan pandemi. Ia akan memberi bantuan tiap kabupaten/kota dengan 1 juta ton beras agar rakyat tak ada yang kelaparan. Ratusan anak yatim atau piatu yang ditinggal mati orang tua selama pandemi, ia jadikan anak angkat. Masa depannya dijamin, uang gajian digunakan untuk memenuhi kebutuhan.

Kalau ini dilakukan. Bukan tidak mungkin kebencian publik pada mbak Puan berubah jadi rasa sayang. Bahkan tak menutup kemungkinan, elektabilitas dan popularitas politiknya menanjak dari dasar ke permukaan. Tapi tetap saja sih, nggak bisa kalau mau mengalahkan pak Ganjar. Hehehehe..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun