Mohon tunggu...
Ezra Zachary Rakan Maoelana
Ezra Zachary Rakan Maoelana Mohon Tunggu... Lainnya - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Suka menulis, mendengarkan musik, menonton, dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kleptomania dan Pertanggungjawabannya di Mata Hukum

24 Juli 2024   16:45 Diperbarui: 25 Juli 2024   19:08 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagian besar masyarakat kita mungkin belum mengetahui dan memahami dengan pasti penyakit kleptomania itu apa. Kleptomania merupakan salah satu jenis penyakit jiwa yang dimana seseorang yang menderita penyakit tersebut mengalami sebuah dorongan yang tidak tertahankan untuk mencuri dan menjadikan kejahatannya tersebut sebagai bentuk kepuasan dan kesenangan pribadi.

Berbicara secara etimologi, istilah kleptomania merujuk dari bahasa Yunani yaitu kleptein yang berarti mencuri dan mania yang berarti kegilaan. Jadi dapat diartikan bahwa kleptomania adalah suatu bentuk kegilaan terhadap mencuri yang disebabkan oleh adanya dorongan berupa hasrat atau keinginan yang timbul dan bergejolak di dalam diri penderitanya untuk melakukan pencurian. Saat penyakit tersebut kambuh, maka peluang untuk terbebas dari situasi itu sangat lah kecil.

Artinya bahwa apabila situasi itu terjadi, maka sulit bagi penderitanya untuk menghindari dorongan atau bisikan tersebut. Apabila penderitanya melakukan apa yang diinginkan oleh dorongan untuk mencuri tersebut, maka penderita kleptomania akan merasa puas dan lega karena sudah melakukannya dan juga timbul rasa takut, cemas, gelisah karena sudah berbuat tindak kejahatan. Namun jika keinginan atas dorongan tersebut tidak dipenuhi, maka timbul rasa kecemasan dan kegelisahan yang bergejolak di dalam diri penderitanya.

Pada umumnya seseorang yang mengidap kleptomania menyadari dan mengetahui dengan baik bahwa tindakan yang dilakukannya itu adalah salah dan dapat menyebabkan masalah besar bagi dirinya sendiri ataupun orang sekitarnya. Akan tetapi bagi para penderitanya sangat sulit untuk menghentikan atau menghilangkan dorongan-dorongan yang timbul dari dalam dirinya tersebut sampai hasrat untuk mencuri benar-benar terpenuhi.

Secara umum perbuatan yang dilakukan oleh pencuri biasa dengan penderita kleptomania adalah sama, namun yang membedakan dari keduanya tersebut ialah motif dan juga benda-benda yang diambil. Biasanya yang paling umum terjadi pada motif pencuri biasa melakukan pencurian ialah karena persoalan ekonomi. Sedangkan bagi penderita kleptomania tidak demikian, umumnya mereka menganggap bahwa tindakan yang dilakukannya tersebut sebagai sarana untuk memuaskan hasrat pribadi dan kesenangan dirinya sendiri. 

Kemudian benda-benda yang diambil pun juga berbeda, umumnya pencuri biasa akan mencuri barang-barang yang memiliki nilai berharga, sedangkan penderita kleptomania akan mencuri barang-barang yang kurang begitu berharga meskipun terdapat beberapa kasus dimana penderita kleptomania juga mencuri barang-barang yang berharga.

Lantas melihat pada kondisi penderita kleptomania yang kerap kali melakukan aksi pencurian di tengah-tengah masyarakat sehingga menimbulkan resah dan gelisah masyarakat akan perbuatan yang dilakukannya tersebut, lalu bagaimana pertanggungjawabannya bagi para penderita kleptomania di mata hukum?

Sebelum masuk ke dalam pembahasan, alangkah lebih baiknya untuk mengetahui terlebih dahulu mengenai definisi dari pertanggungjawaban pidana. Dalam istilah asing, pertanggungjawaban pidana dikenal dengan sebutan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang mengarah kepada pemidanaan pelaku kejahatan dengan maksud untuk menentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukannya atau tidak.

Tentunya perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan telah memenuhi unsur-unsur delik yang telah ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku. Dengan kata lain, bahwa pertanggungjawaban pidana merupakan bentuk pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan yang melanggar hukum dan norma-norma masyarakat yang telah dilakukan oleh orang tersebut.

Pertanggungjawaban pidana sangat lah erat hubungannya dengan kemampuan bertanggungjawab. Secara teoritis, kemampuan bertanggungjawab adalah suatu kondisi batin atau jiwa yang sehat dan normal serta mempunyai akal pikiran dalam membeda-bedakan perihal yang baik dan buruk. Dengan kata lain, orang tersebut mampu dalam menginsyafi atau menyadari sifat dari melawan hukum terhadap suatu perbuatan yang akan dilakukannya dan selaras dengan kesadaran itu mampu dalam menentukan kehendak untuk melakukan sesuatu.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, tidak terdapat penjelasan secara lengkap mengenai definisi dari pertanggungjawaban pidana ataupun kemampuan bertanggung-jawab. Namun di dalam KUHP lama telah mengatur pertanggungjawaban hukum bagi para pelaku kejahatan yang menderita gangguan jiwa. Aturan tersebut terdapat di dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHP. Adapun bunyi dari kedua pasal tersebut yaitu:

(1) Barangsiapa yang telah melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya yang cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena adanya suatu penyakit, maka tidak dapat dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau terganggu karena suatu penyakit, maka hakim dapat memerintahkan agar orang tersebut dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang versi terbaru, terdapat sedikit perbuatan mengenai pertanggung-jawaban hukum bagi pelaku kejahatan yang menderita gangguan jiwa. Aturan tersebut tercantum dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

Pasal 38:

Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dapat dikenai tindakan.

Pasal 39:

Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.

Mengacu pada ketentuan dari dua peraturan tersebut, maka terdapat sedikit perbedaan terkait dengan pertanggungjawaban hukum bagi pelaku kejahatan yang menderita gangguan jiwa. Apabila dilihat dengan seksama dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHP lama, disitu telah dijelaskan bahwa pelaku kejahatan yang menderita gangguan jiwa tidak dapat dipidana atau tidak dapat diberikan hukuman namun dapat diberikan tindakan lain berupa masa percobaan selama setahun untuk melakukan pengobatan jiwa di rumah sakit yang telah ditetapkan oleh majelis hakim.

Sedangkan jika melihat pada Pasal 38 dan Pasal 39 KUHP baru, makaa ada sedikit kategori atau penggolongan hukuman yang dapat diberikan untuk pelaku kejahatan yang menderita gangguan jiwa. Misalnya jika pelaku tersebut menderita gangguan jiwa yang rendah atau tidak terlalu parah, maka pelaku tersebut masih dapat dikenai hukuman pidana meskipun terdapat pengurangan ataupun bisa juga diberikan tindakan lain selain hukuman pidana. Kemudian apabila pelaku tersebut ternyata memiliki gangguan jiwa yang parah atau sudah akut, maka pelakunya tidak dapat dikenai pidana namun dapat diberikan tindakan lain sesuai dengan kehendak majelis hakim.

Jika kita melihat dari perspektif KUHP lama, maka penderita kleptomania tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, sebab kleptomania sendiri adalah salah satu jenis penyakit jiwa yang sama seperti penyakit-penyakit jiwa lainnya dan juga termasuk ke dalam kategori yang disebutkan oleh Pasal 44 ayat (1) KUHP yang dimana dalam teori hukum pidana hal itu disebut dengan alasan pemaaf dan alasan ini dapat menghapus pertanggungjawaban hukum dari pelaku kejahatan yang menderita gangguan jiwa.

Namun apabila kita melihat dari perspektif KUHP baru yang pada tahun 2026 nanti akan sah menggantikan KUHP lama, maka atas dasar perintah dari majelis hakim, penderita kleptomania akan dilakukan pemeriksaan kejiwaan terlebih dahulu oleh dokter atau ahli psikiatri untuk menentukan seberapa parah penyakit kleptomania yang diderita oleh orang tersebut dengan tujuan untuk mengetahui sekaligus menentukan apakah penderitanya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau tidak. 

Bilamana setelah hasil pemeriksaan tersebut dokter atau ahli psikiatri mengatakan bahwa gejala kleptomania yang dialami oleh orang tersebut masih di tahap awal atau tidak belum terlalu parah, maka orang itu masih dapat diberikan hukuman pidana meskipun terdapat pengurangan atau juga bisa diberikan tindakan lain oleh majelis hakim.

Akan tetapi bilamana setelah hasil pemeriksaan tersebut dokter atau ahli psikiatri mengatakan bahwa orang itu memiliki gejala kleptomania yang sudah parah atau akut, maka orang tersebut tidak diberikan hukuman pidana namun dapat dijatuhkan tindakan lain atas perintah majelis hakim kepada terdakwa.

Perlu diketahui juga bahwa hukum pidana mengkualifikasikan bentuk pertanggungjawaban pidana menjadi tiga macam bentuk, diantaranya yaitu: mampu bertanggungjawab, tidak mampu bertanggungjawab sebagian, dan kurang mampu bertanggungjawab. Dalam kasus ini, gangguan kejiwaan yang berjenis curi patologis atau kleptomania dalam hukum pidana dimasukkan ke dalam klasifikasi tidak mampu bertanggungjawab untuk sebagian.

Sebab hal ini berarti bahwa untuk tindak pidana yang berkaitan dengan gangguan kejiwaan khususnya bagi seseorang yang mengalami gangguan kleptomania maka orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, namun untuk perbuatan lain di luar dari penyakit jiwa (mencuri) yang sedang dialaminya tersebut, maka orang itu dapat mampu bertanggungjawab sepenuhnya. 

Selain penyakit kleptomania, terdapat beberapa jenis gangguan atau penyakit jiwa yang dapat mengakibatkan penderitanya dapat termasuk ke dalam kategori tidak mampu bertanggung-jawab untuk sebagian, misalnya seperti: pyromania, dan claustrophobia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun