Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang versi terbaru, terdapat sedikit perbuatan mengenai pertanggung-jawaban hukum bagi pelaku kejahatan yang menderita gangguan jiwa. Aturan tersebut tercantum dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)Â yang berbunyi:
Pasal 38:
Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dapat dikenai tindakan.
Pasal 39:
Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.
Mengacu pada ketentuan dari dua peraturan tersebut, maka terdapat sedikit perbedaan terkait dengan pertanggungjawaban hukum bagi pelaku kejahatan yang menderita gangguan jiwa. Apabila dilihat dengan seksama dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHP lama, disitu telah dijelaskan bahwa pelaku kejahatan yang menderita gangguan jiwa tidak dapat dipidana atau tidak dapat diberikan hukuman namun dapat diberikan tindakan lain berupa masa percobaan selama setahun untuk melakukan pengobatan jiwa di rumah sakit yang telah ditetapkan oleh majelis hakim.
Sedangkan jika melihat pada Pasal 38 dan Pasal 39 KUHP baru, makaa ada sedikit kategori atau penggolongan hukuman yang dapat diberikan untuk pelaku kejahatan yang menderita gangguan jiwa. Misalnya jika pelaku tersebut menderita gangguan jiwa yang rendah atau tidak terlalu parah, maka pelaku tersebut masih dapat dikenai hukuman pidana meskipun terdapat pengurangan ataupun bisa juga diberikan tindakan lain selain hukuman pidana. Kemudian apabila pelaku tersebut ternyata memiliki gangguan jiwa yang parah atau sudah akut, maka pelakunya tidak dapat dikenai pidana namun dapat diberikan tindakan lain sesuai dengan kehendak majelis hakim.
Jika kita melihat dari perspektif KUHP lama, maka penderita kleptomania tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, sebab kleptomania sendiri adalah salah satu jenis penyakit jiwa yang sama seperti penyakit-penyakit jiwa lainnya dan juga termasuk ke dalam kategori yang disebutkan oleh Pasal 44 ayat (1) KUHP yang dimana dalam teori hukum pidana hal itu disebut dengan alasan pemaaf dan alasan ini dapat menghapus pertanggungjawaban hukum dari pelaku kejahatan yang menderita gangguan jiwa.
Namun apabila kita melihat dari perspektif KUHP baru yang pada tahun 2026 nanti akan sah menggantikan KUHP lama, maka atas dasar perintah dari majelis hakim, penderita kleptomania akan dilakukan pemeriksaan kejiwaan terlebih dahulu oleh dokter atau ahli psikiatri untuk menentukan seberapa parah penyakit kleptomania yang diderita oleh orang tersebut dengan tujuan untuk mengetahui sekaligus menentukan apakah penderitanya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau tidak.Â
Bilamana setelah hasil pemeriksaan tersebut dokter atau ahli psikiatri mengatakan bahwa gejala kleptomania yang dialami oleh orang tersebut masih di tahap awal atau tidak belum terlalu parah, maka orang itu masih dapat diberikan hukuman pidana meskipun terdapat pengurangan atau juga bisa diberikan tindakan lain oleh majelis hakim.
Akan tetapi bilamana setelah hasil pemeriksaan tersebut dokter atau ahli psikiatri mengatakan bahwa orang itu memiliki gejala kleptomania yang sudah parah atau akut, maka orang tersebut tidak diberikan hukuman pidana namun dapat dijatuhkan tindakan lain atas perintah majelis hakim kepada terdakwa.
Perlu diketahui juga bahwa hukum pidana mengkualifikasikan bentuk pertanggungjawaban pidana menjadi tiga macam bentuk, diantaranya yaitu: mampu bertanggungjawab, tidak mampu bertanggungjawab sebagian, dan kurang mampu bertanggungjawab. Dalam kasus ini, gangguan kejiwaan yang berjenis curi patologis atau kleptomania dalam hukum pidana dimasukkan ke dalam klasifikasi tidak mampu bertanggungjawab untuk sebagian.
Sebab hal ini berarti bahwa untuk tindak pidana yang berkaitan dengan gangguan kejiwaan khususnya bagi seseorang yang mengalami gangguan kleptomania maka orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, namun untuk perbuatan lain di luar dari penyakit jiwa (mencuri) yang sedang dialaminya tersebut, maka orang itu dapat mampu bertanggungjawab sepenuhnya.Â
Selain penyakit kleptomania, terdapat beberapa jenis gangguan atau penyakit jiwa yang dapat mengakibatkan penderitanya dapat termasuk ke dalam kategori tidak mampu bertanggung-jawab untuk sebagian, misalnya seperti: pyromania, dan claustrophobia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H