Mohon tunggu...
Ezra Osara Harefa
Ezra Osara Harefa Mohon Tunggu... Freelancer - berperilakulah sesuai dengan domisili anda, bukan sesuai dengan daerah asal anda!

Mahasiswa di Universitas Negeri Medan, Jurusan Pend. Antropologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Etnosentrisme, Relativisme Kultural dan Kultur dalam Memajukan Indonesia

29 Februari 2020   20:36 Diperbarui: 29 Februari 2020   20:41 7680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebelum kita memahami apa itu etnosentrisme-relativisme kultural, baiklah kita melihat peristiwa yang terjadi di sekeliling kita. mungkin dari beberapa pembaca telah mengetahui, bahwasanya di dalam suku batak toba, terdapat tradisi yang mungkin dianggap "nyeleneh" bagi masyarakat etnis lain yang melihatnya.

Tradisi tersebut adalah proses pemakaman orang yang telah meninggal, atau disebut tradisi Saur Matua. Seperti yang dikemukakan oleh Vivi Hotmiani sidauruk (dalam tulisannya di kompasiana), bahwasnya masyarakat batak memperlakukan orang mati dengan khusus, dimana kematian orang batak dilakukan dengan pesta dan sukacita. 

Yang bisa dijadikan alasan mengapa dikatakan sukacita, karena pada prosesi tersebut, ada momen di mana mereka menari (manortor) sambil mengelilingi jenazah. ini bertolak belakang dengan kebudayaan etnis yang lain, yang biasanya mereka menangis atau berduka saat ada orang yang meninggal. Bahkan orangtua saya pun merasa heran dengan prosesi seperti itu.

Sikap manusia yang merasa heran dengan prosesi pemakaman tersebut dapat dikatakan sebagai Etnosentrisme. Pada dasarnya, Etnosentrisme adalah paham yang dimiliki oleh individu suatu suku bangsa yang menganggap bahwa kebudayaan suku itu lebih baik ataupun bertolak belakang dengan kebudayaan suku yang lain.

Menurut Harris (1985), etnosentrisme merupakan kecenderungan bahwa individu menganggap kelompoknya lebih baik dibandingkan kelompok lain yang dianggap liar, inhuman, menjijikkan bahkan tidak rasional.

Menurut penulis, ada beberapa faktor yang mendukung individu mempunyai paham etnosentrisme, yaitu ikatan primordial yang telah diturunkan dari generasi ke generasi, interaksi sosial yang cenderung "berjalan di tempat", kurangnya pengetahuan yang dimiliki individu dan keadaan individu untuk menutup diri dari kebudayaan luar.

berbeda dengan etnosentrisme, Relativisme kultural berbanding terbalik dengan etnosentrisme. Secara garis besar, Relativisme Kultural adalah paham dimana semua unsur dari suatu kebudayaan bersifat relatif bagi setiap orang. tidak ada yang benar dan salah, namun relatif. artinya, apa yang kita lakukan di suatu ruang lingkup kebudayaan tertentu belum tentu benar di ruang lingkup kebudayaan lain. Contohnya, saat di pantai.

Bila seorang wanita memakai bikini pada saat musim panas di amerika dan negara negara di eropa, itu adalah hal yang wajar. Namun, ketika wanita tersebut menggunakan bikini di pantai di Aceh, itu adalah suatu hal yang buruk, karena tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di Aceh.

Menurut Jaya dan Arafat (2017) Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati {Donelly (dalam Jaya dan Arafat, 2017)}. Sebagai salah satu Mahasiswa di Program Studi Pendidikan Antropologi Universitas Negeri Medan, penulis bersifat anti terhadap etnosentrisme, dan lebih menganut paham relativisme kultural.

Lalu, bagaimanakah dengan masyarakat di Indonesia? Apakah masyarakat di Indonesia bersifat etnosentrisme atau relativisme kultural? sejak bangsa dan negara ini berdiri, sebenarnya para pendiri bangsa sudah berada di jalan yang benar, yaitu dengan membentuk ideologi pancasila, dan UUD 1945. pada lambang garuda pancasila, terdapat semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti "berbeda beda tetapi tetap satu jua. artinya, semua suku adalah bagian dari indonesia.

Tidak ada Etnis yang superior, ataupun inferior. semua suku bangsa harus saling bahu membahu untuk membangun indonesia. terbukti dalam pergerakan pemuda pemudi indonesia dalam lahirnya Sumpah Pemuda, yang memunculkan jong java, jong sumatranen bond, jong ambon, jong celebes, dan lain sebagainya. namun, kenyataannya di abad ke-21 ini, masih banyak individu yang menganggap sukunya lebih baik dari suku yang lain.

Individu saling melekatkan embel embel perilaku/wujud fisik yang buruk pada suku yang lain. Batak yang kasar, Minang yang Pelit, Papua yang hitam, Melayu yang pemalas, Tionghoa yang sipit, Jawa yang Pemalu, adalah contoh sindiran oleh individu suatu suku kepada suku yang lain.

Padahal mereka tidak tahu, bahwa ini bisa menjadi percikkan konflik, yang mungkin membuat bangsa indonesia tidak bisa maju, bahkan bisa runtuh. bukan tidak mungkin, di indonesia bisa terjadi perang saudara jika paham etnosentrisme masih melekat kuat.

Berbicara tentang kultur dan kemajuan suatu negara, adalah dua hal yang saling berkaitan. kultur (kebudayaan) yang dipercayai oleh Amri Marzali (2016) dalam konteks pendidikan dan pengajaran bukanlah kultur sebagaimana yang didefinisikan oleh orang antropologi pada waktu itu, yang mencakup "kelakuan", "hasil Kelakuan", dan "tata kelakuan", tetapi hanya mengacu kepada mentalitas manusia. sebelum kita lebih lanjut membahas, alangkah baiknya kita harus mengetahui definisi dari mentalitas. 

Mentalitas berasal dari kata "mental", yang berarti keadaan dan aktivitas jiwa(batin), cara berpikir dan berperasaan. mentalitas adalah sebuah cara berpikir atau konsep pemikiran manusia untuk dapat belajar dan merespons suatu hal. cara berpikir manusia bisa dilihat dari lingkungan, dan status sosial yang dimilikinya.

Orang miskin akan tetap miskin sampai tujuh turunan, atau jikalau bapakku petani, maka ujungnya aku juga jadi petani, atau jika ayahku nelayan, maka aku tidak mungkin jadi petani, jika aku bodoh, mana mungkin aku bisa mengerjakan soal itu? pernyataan/pertanyaan tersebut merupakan beberapa cara berpikir/mentalitas yang dimiliki oleh sebagian masyarakat indonesia.

Ada sekitar lebih dari 250 juta penduduk di Indonesia, tentu Mentalitasnya juga berbeda beda. Sebelum melangkah ke depan, Indonesia seharusnya mempelajari bagaimana mentalitas dari warganya itu sendiri.

Percuma kita mendatangkan Teknologi dari luar, membangun infrastruktur yang canggih, dan mendapat ilmu pengetahuan baru dari luar negeri jika misalnya mental rakyat indonesia itu ialah menggunakan barang secara sembarangan. tentulah teknologi itu akan hancur/rusak, dan tidak ada gunanya lagi, sehingga menghambat kemajuan indonesia itu sendiri.

Namun demikian, bukan tidak ada individu individu yang mempelajari mentalitas masyarakat sebelum melangkah ke depan. Contoh, Aldi Haryopratomo, Seorang CEO GO-PAY. Kita tahu, bahwa GO-PAY adalah perusahaan Fintech yang berada di bawah naungan GO-JEK, yang memiliki valuasi sebesar US$ 9,5 Milyar. dalam sebuah video youtube di channel youtube Agung Hapsah, Aldi mengatakan bahwa kita memiliki suatu keunggulan dibandingkan negara lain.

Jepang terkenal dengan (kultur) Efisiennya, akhirnya jadilah Toyota. Jerman terkenal dengan (kultur) telaten, rapi, jadi pintu mobil jerman kalo ditutup bunyinya beeep. kalo di indonesia apa? actually, (kulturnya) gotong royong, ungkapnya. dengan mengetahui bahwa mentalitas indonesia itu suka bergotong royong, maka dia menerapkan cara berpikir masyarakat tersebut dalam usaha mereka.

Dengan memesan makanan dari GO-FOOD, maka secara tidak langsung sebenarnya kita bergotong royong membantu para pengusaha kecil, dan driver nya sendiri. Intinya, dengan mempelajari mentalitas masyarakat, maka kita dapat menerapkan suatu tatanan sistem teknologi, ekonomi, usaha, dan yang lainnya sesuai dengan mentalitas masyarakat tersebut.

Referensi :

https://www.youtube.com/watch?v=pKrAAQpLUR0

Universalism Vs. Cultural Relativism dan Implementasinya dalam Hak Kebebasan Beragama Di Indonesia (Jaya dan Arafat) https://jurnal.unikal.ac.id/index.php/hk/article/view/568

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/23232/Chapter%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun