Individu saling melekatkan embel embel perilaku/wujud fisik yang buruk pada suku yang lain. Batak yang kasar, Minang yang Pelit, Papua yang hitam, Melayu yang pemalas, Tionghoa yang sipit, Jawa yang Pemalu, adalah contoh sindiran oleh individu suatu suku kepada suku yang lain.
Padahal mereka tidak tahu, bahwa ini bisa menjadi percikkan konflik, yang mungkin membuat bangsa indonesia tidak bisa maju, bahkan bisa runtuh. bukan tidak mungkin, di indonesia bisa terjadi perang saudara jika paham etnosentrisme masih melekat kuat.
Berbicara tentang kultur dan kemajuan suatu negara, adalah dua hal yang saling berkaitan. kultur (kebudayaan) yang dipercayai oleh Amri Marzali (2016) dalam konteks pendidikan dan pengajaran bukanlah kultur sebagaimana yang didefinisikan oleh orang antropologi pada waktu itu, yang mencakup "kelakuan", "hasil Kelakuan", dan "tata kelakuan", tetapi hanya mengacu kepada mentalitas manusia. sebelum kita lebih lanjut membahas, alangkah baiknya kita harus mengetahui definisi dari mentalitas.Â
Mentalitas berasal dari kata "mental", yang berarti keadaan dan aktivitas jiwa(batin), cara berpikir dan berperasaan. mentalitas adalah sebuah cara berpikir atau konsep pemikiran manusia untuk dapat belajar dan merespons suatu hal. cara berpikir manusia bisa dilihat dari lingkungan, dan status sosial yang dimilikinya.
Orang miskin akan tetap miskin sampai tujuh turunan, atau jikalau bapakku petani, maka ujungnya aku juga jadi petani, atau jika ayahku nelayan, maka aku tidak mungkin jadi petani, jika aku bodoh, mana mungkin aku bisa mengerjakan soal itu? pernyataan/pertanyaan tersebut merupakan beberapa cara berpikir/mentalitas yang dimiliki oleh sebagian masyarakat indonesia.
Ada sekitar lebih dari 250 juta penduduk di Indonesia, tentu Mentalitasnya juga berbeda beda. Sebelum melangkah ke depan, Indonesia seharusnya mempelajari bagaimana mentalitas dari warganya itu sendiri.
Percuma kita mendatangkan Teknologi dari luar, membangun infrastruktur yang canggih, dan mendapat ilmu pengetahuan baru dari luar negeri jika misalnya mental rakyat indonesia itu ialah menggunakan barang secara sembarangan. tentulah teknologi itu akan hancur/rusak, dan tidak ada gunanya lagi, sehingga menghambat kemajuan indonesia itu sendiri.
Namun demikian, bukan tidak ada individu individu yang mempelajari mentalitas masyarakat sebelum melangkah ke depan. Contoh, Aldi Haryopratomo, Seorang CEO GO-PAY. Kita tahu, bahwa GO-PAY adalah perusahaan Fintech yang berada di bawah naungan GO-JEK, yang memiliki valuasi sebesar US$ 9,5 Milyar. dalam sebuah video youtube di channel youtube Agung Hapsah, Aldi mengatakan bahwa kita memiliki suatu keunggulan dibandingkan negara lain.
Jepang terkenal dengan (kultur) Efisiennya, akhirnya jadilah Toyota. Jerman terkenal dengan (kultur) telaten, rapi, jadi pintu mobil jerman kalo ditutup bunyinya beeep. kalo di indonesia apa? actually, (kulturnya) gotong royong, ungkapnya. dengan mengetahui bahwa mentalitas indonesia itu suka bergotong royong, maka dia menerapkan cara berpikir masyarakat tersebut dalam usaha mereka.
Dengan memesan makanan dari GO-FOOD, maka secara tidak langsung sebenarnya kita bergotong royong membantu para pengusaha kecil, dan driver nya sendiri. Intinya, dengan mempelajari mentalitas masyarakat, maka kita dapat menerapkan suatu tatanan sistem teknologi, ekonomi, usaha, dan yang lainnya sesuai dengan mentalitas masyarakat tersebut.
Referensi :