Mohon tunggu...
Eza Ihza Mahendra
Eza Ihza Mahendra Mohon Tunggu... Guru - Alumni Pendidikan Sejarah UNJ dan Pendidikan Profesi Guru UNTIRTA

Teaching and Education • History Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Masih Pentingkah Diskursus Mengenai Dalang Gerakan 30 September ?

27 September 2024   03:27 Diperbarui: 5 Oktober 2024   00:21 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Gerakan 30 September

1 Oktober 1965 dini hari, di sebuah negeri bernama Indonesia yang kala itu usianya terbilang masih sangat belia, terjadi suatu peristiwa yang ternyata menjadi salah satu babak penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Gerakan 30 September (biasa dikenal dengan G30S) begitulah nama yang diberikan, sebuah gerakan yang dimulai dengan menculik 7 Jenderal dari rumah-rumah mereka di Jakarta. Letnan Jenderal Ahmad Yani yang pada saat itu sedang menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad), beserta dengan lima staf umumnya menjadi target operasi penculikan dari Gerakan 30 September, dan kemudian dibawa dengan truk. Para penculik membunuh Yani dan dua jenderal (Harjono dan Pandjaitan) lainnya pada saat penangkapan berlangsung. Tiga jenderal (Parman, Soeprapto, Siswomihardjo) lainnya  dan satu perwira (Pierre Tendean) salah tangkap dari rumah jenderal ketujuh (Nasution) yang berhasil lolos dari operasi penculikan, kemudian juga dibunuh pada saat tiba di sebuah perkebunan karet dan melempar jasad mereka semua ke sebuah sumur mati. Orang-orang di balik peristiwa pembunuhan ini kemudian menduduki stasiun pusat Radio Republik Indonesia (RRI) di Jakarta dan melalui siaran udara mereka mengumumkan bahwa menyatakan diri sebagai pasukan yang setia kepada Presiden Soekarno.

 Adapun tujuan dari sebuah aksi yang menamai dirinya dengan sebutan Gerakan 30 September ini adalah untuk melindungi Presiden dari komplotan jenderal kanan yang akan melancarkan kudeta (jika merujuk pada siaran RRI). Gerakan 30 September dipimpin oleh seorang tentara yang berpangkat Letnan Kolonel bernama Untung yang merupakan Komandan Batalyon I satuan pengawal Presiden (Cakrabirawa). 1 Oktober 1965 pada pagi hari, ratusan prajurit pendukung G30S menduduki Lapangan Merdeka (sekarang Lapangan Monas) di pusat kota, lalu pada sore hari menjelang petang, seperti menanggapi isyarat dari Jakarta, beberapa pasukan di Jawa Tengah menculik lima perwira pimpinan mereka.

Kesan umum, mereka ini hanyalah orang-orang suruhan, atau ibarat pagelaran wayang kulit, mereka hanyalah 'kelir', dan bisa dikatakan sangat mustahil bergerak tanpa adanya perintah atau 'dalang' dibaliknya. Kemudian pertanyaannya, siapa dalangnya?

Perdebatan mengenai 'dalang'

Bagi para sejarawan sendiri, Gerakan 30 September masih menjadi sebuah misteri yang sulit terpecahkan secara pasti, hal tersebut dikarenakan bukti-bukti yang terbatas adanya dan juga kebanyakan dari bukti tersebut tidak dapat diandalkan. Gerakan 30 September adalah sebuah misteri pembunuhan yang pemecahannya akan membawa implikasi yang amat besar bagi sejarah nasional Indonesia. Oleh karena itu, hal-hal yang dipertaruhkan dalam perdebatan dan kontroversi mengenai dalang dari G30S sungguh besar risikonya. Terlebih, dalam ingatan sosial masyarakat Indonesia Gerakan 30 September menjadi sebuah gambaran kekejaman yang begitu jahat dan mengerikan, karena adanya monopoli kebenaran yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Bagi Soeharto sendiri, Gerakan 30 September menjadi sebuah kejahatan dan tindakan pengkhianatan terhadap revolusi, yang memperlihatkan adanya kesalahan yang sangat besar pada pemerintahan Soekarno.

Bagi penulis kenyataan-kenyataan tersebut membuat perdebatan mengenai dalang G30S sudah tidak lagi menjadi penting untuk menjadi sebuah diskursus. Sebagai seorang guru sejarah, timbul pertanyaan penting dalam diri penulis mengenai peristiwa Gerakan 30 September agar bisa memberikan pembelajaran yang penting bagi generasi muda. Pertanyaannya, selain kontroversi mengenai dalang G30S, kira-kira apa yang bisa diambil dari peristiwa Gerakan 30 September supaya menjadi sebuah pembelajaran penting bagi generasi muda?

Arti Penting Gerakan 30 September

Pada dasarnya Gerakan 30 September merupakan suatu peristiwa yang relatif berskala kecil karena hanya terjadi di Jakarta dan Jawa Tengah, dan juga dentuman besar yang terjadi hanya di awal gerakan saja, tapi sebenarnya berakhir sangat cepat (setidaknya paling lambat pada 3 Oktober 1965). Secara keseluruhan Gerakan 30 September telah membunuh dua belas orang. Penulis tidak bermaksud menafikan kematian dua belas orang dalam peristiwa ini, bagi penulis G30S sudah pasti harus bertanggung jawab karena telah membunuh.

Jika bagi Presiden Soekarno aksi Gerakan 30 September itu sendiri disebutnya sebagai, "riak kecil di tengah samudra besar Revolusi". Artinya, G30S hanyalah sebuah peristiwa kecil yang bisa diselesaikan dengan tenang tanpa menimbulkan guncangan yang besar. Gerakan 30 September menjadi penting karena Soeharto dan para perwira di sekitarnyalah yang memutuskan untuk membuat peristiwa ini menjadi penting. Mereka memberikan peristiwa ini arti penting yang lebih besar walaupun dengan banyak fakta yang kabur dan tidak dapat diandalkan.  

Bagi penulis arti penting sesungguhnya dalam peristiwa Gerakan 30 September terletak pada hubungan antara gerakan ini dengan peristiwa yang mengikutinya (pasca terjadinya G30S). Pertanyaan penting yang harus diajukan dalam tulisan ini adalah ada berapa banyak orang yang memiliki pengetahuan yang utuh mengenai G30S? Baik saat berlangsungnya gerakan dan juga peristiwa yang kemudian mengikutinya. Dalam mempelajari peristiwa G30S bukan sebagai peristiwa yang tunggal, akan memberikan pengetahuan yang utuh dalam menghasilkan pemahaman yang baik.

Hubungan antara Gerakan 30 September dengan peristiwa pembunuhan massal yang mengikutinya menjadi dua hal yang berkelindan.  Pasca G30S, berjuta-juta orang yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) akan diburu, disiksa, dibunuh, dan ditahan selama bertahun-tahun tanpa pengadilan. Bahkan para petani yang buta huruf di desa-desa terpencil, juga dianggap sebagai gerombolan pembunuh secara kolektif yang bertanggung jawab atas terjadinya G30S, situasi tersebut sangat menggambarkan apa yang dikatakan oleh Presiden Soekarno, "mau membunuh tikus, seluruh rumahnya dibakar" Dengan demikian, jika dibandingkan dengan pembunuhan massal itu, kita akan melihat bahwa peristiwa G30S tidak memiliki arti penting yang sesungguhnya dan sangat sulit bagi akal sehat kita menerima peristiwa pembunuhan massal itu sebagai suatu reaksi yang wajar terhadap Gerakan 30 September.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun