Mohon tunggu...
Excelindo Krisna Putra
Excelindo Krisna Putra Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaExcellent

Pengelana Masa • Perekam Peristiwa • Peramu Peradaban | Blog Pribadi: https://excelindokrisnaputra.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

ESTO, Kisah Perusahaan Otobus Pertama di Indonesia

1 Juli 2023   06:00 Diperbarui: 1 Juli 2023   06:13 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ESTO merupakan akronim dari Eerste Salatigasche Transport Onderneming jika diterjemahkan Eerste artinya pertama, Salatigasche merujuk pada Salatiga, Transport artinya transportasi, dan Onderneming artinya perusahaan. Dalam bahasa Indonesia berarti Perusahaan Transportasi Pertama Salatiga, hal ini merupakan penegasan atas usahanya yang merupakan perusahaan bus perintis pertama di Salatiga. Sebenarnya dalam usaha sewa mobil dan truk sebelumnya juga merupakan yang pertama di Salatiga. Hal ini mencerminkan bahwa Kwa Tjwan Ing memang sosok kreatif yang berdampak positif di zamannya.

Pemilihan nama berbahasa Belanda karena sang pemilik memahami secara mendalam tatanan sosial dan target konsumen yang dituju masa Hindia Belanda. Warga Belanda yang melihat nama ESTO akan langsung tertarik dan menggunakan jasa transpoortasi bus ini. Terlebih Kwa Tjwan Ing memisahkan antara penumpang kaum Belanda dan priyayi dengan kaum bumiputra. Hal ini terjadi karena ada keengganan orang Belanda saat itu menjadi satu ruang dengan warga bumiputra yang tercermin dari moda transportasi dokar sebelumnya.

Spesifikasi dan Layanan

Masa awal merintis usaha, karoseri atau badan bus dibangun dengan bahan kayu dan besi berwarna hijau tua, warna hijau ini kelak yang membuat ESTO dikenal dengan julukan "Kodhok Ijo" artinya "Katak Hijau". Generasi perintis bus menggunakan casis merek Ford, sedangkan generasi kedua bus ESTO teridentifikasi menggunakan sasis merek Chevrolet yang berasal dari Amerika Serikat. Sasis dengan merek Chevrolet ini yang nantinya menjadi sasis favorit pilihan ESTO sampai masa pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Kaca kendaraan hanya terletak di sisi depan, sedangkan pintu serta jendela di sisi samping dan belakang tanpa kaca. Ruangan bus terbagi atas tiga bagian, bagian depan tepat di belakang mesin, bagian tengah, dan bagian belakang.

Layanan yang ditawarkan ESTO mengikuti permintaan tatanan sosial saat itu yang memisahkan warga Belanda dengan warga bumiputra. Generasi pertama bus ESTO berkapasitas total 16-18 penumpang termasuk kru. Bagian depan bus berfungsi sebagai ruang kemudi untuk satu pengemudi dan satu penumpang. Bagian tengah diperuntukan sebagai layanan kelas satu berkonfigurasi kursi nyaman menghadap depan untuk warga Belanda, kelas satu ini berkapasitas enam penumpang. Sedangkan yang terakhir, kelas kedua berkonfigurasi bangku rotan panjang menghadap belakang untuk warga bumiputra, kapasitas yang mampu disediakan pada kelas ini yaitu sepuluh penumpang. Penumpang membayar tiket jasa transportasi bus kepada seorang kondektur yang berdiri di pintu belakang dengan tarif yang tentunya berbeda yakni 20 sen untuk kelas satu dan 10 sen untuk kelas dua.

Trayek Awal

Dasar dari pemilihan trayek bus ESTO ialah konsep integrasi antarmoda yang telah ada yang kemudian dikembangkan. Trayek Salatiga-Tuntang menjadi pilihan awal Kwa Tjwan Ing untuk melayani warga Salatiga yang akan melanjutkan perjalannya menggunakan moda kereta api melalui Stasiun Tuntang. Jadwal keberangkatan baik dari Salatiga maupun Stasiun Tuntang disesuaikan dengan jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api.

Rute ini disambut baik oleh para pengguna jasa transportasi yang sebelumnya menggunakan moda transportasi dokar untuk menuju ke stasiun, terlebih bagi warga Belanda. Dokarpun tergeser perannya sebagai pemain utama menjadi pilihan alternatif khususnya bagi warga yang tertinggal jadwal bus ESTO.

Saat jumlah armada bus ESTO bertambah dengan analisis pasar yang tepat, Kwa Tjwan Ing memutuskan untuk membuka trayek Salatiga-Bringin. Dasar dari keputusan ini serupa dengan trayek sebelumnya yaitu faktor integrasi antarmoda antara pusat kota dengan Stasiun Bringin. Sehingga sistem operasional juga serupa yakni disesuaikan dengan jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api.

Keunikan dari trayek kedua ini adalah terdapat tambahan target konsumen karena adanya Pasar Bringin dan perkebunan Getas. Tidak hanya pengguna jasa transportasi yang ingin melanjutkan perjalanan ke Stasiun Bringin, namun penumpang juga berasal dari para pedagang pasar dengan barang dagangannya maupun para pekerja di perkebunan getas yang membutuhkan angkutan.

Layanan bus ESTO dapat diakses melalui garasinya yang berada di Julianalaan (jalan Langensuko) dan autostandplaats atau terminal yang terletak di Soloscheweg (jalan Jenderal Sudirman). Terminal awal di Salatiga berada di pangkalan dokar yang disekat antara kendaraan bermotor dan tidak. Pemilihan lokasi ini untuk memudahkan akses pengguna di pusat ekonomi dan keramaian kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun