Jadi, transisi energi di sini lebih dari sekadar dekarbonisasi. Kita harus menyeimbangkan segitiga energi, yaitu environmental sustainability, security and access, dan economic development and growth.
2. Transisi energi tidak terjadi dalam semalam
Baca Juga :Â Konservasi dan Efisiensi Energi, Cara Paling Murah Untuk Pengembangan Energi Berkelanjutan
Â
Pengalaman transisi energi negara-negara sebelumnya menunjukkan bahwa transisi energi tidak terjadi dalam semalam. Pertanyaannya adalah berapa banyak waktu tersisa bagi Indonesia untuk menyelesaikannya?
Denmark adalah contoh negara dengan ekonomi hijau paling sukses di dunia. Denmark telah memasukkan energi angin ke dalam agenda negara jangka panjang sejak 1976. Hari ini, lebih dari 45 tahun kemudian, 40 persen pembangkit listrik di Denmark menggunakan angin. Secara global, negara ini memimpin teknologi turbin angin di seluruh dunia.
Denmark adalah negara yang sangat memanusiakan energi terbarukan. Mereka memanen angin dengan membuat ladang angin di banyak pulau. Denmark bahkan menyiapkan pulau-pulau energi terbarukan yang akan memasok energi bagi 10 juta rumah tangga di Eropa.
3. Transisi energi bukan hanya beralih dari batubara ke energi terbarukan atau mobil BBM ke mobil listrik
Emisi dari sektor energi diperkirakan sekitar 73 persen dari emisi gas rumah kaca secara global. Orang-orang hanya fokus ke sektor ketenagalistrikan dan transportasi.
Memang benar, pembangkit listrik bertanggung jawab atas 38 persen dan transportasi bertanggung jawab atas 13 persen emisi gas rumah kaca. Namun, kita tak boleh melupakan industri lainnya, seperti semen, besi dan baja, perkapalan, dan penerbangan.
4. Tidak ada yang namanya satu solusi cocok untuk semua
Tantangan transisi energi tak cukup diselesaikan dengan satu solusi. Semisal kita hanya fokus pada kendaraan listrik tentu saja tetap ada efek sampingnya. Demikian juga, semisal kita hanya fokus pada turbin energi terbarukan, akan ada lagi efek ikutannya.