Apa yang menarik dari Jogja kok sampai beberapa kali kamu menuliskan rasa cinta itu dalam akun instagrammu?” Begitulah pertanyaan yang seorang teman ajukan pada saya. Dia mungkin heran karena Jogja selalu menjadi topik menarik untuk saya kupas yang tak pernah habis-habisnya.
Ah, belum tahu dia tahu Jogja memang sangat layak dicintai. Bukan hanya karena cinta pertama saya yang seindah musim cherry bersemi di kota itu, namun Jogja punya daya tarik lain laksana magnet yang begitu kuat menarik saya untuk tak berpindah ke lain hati.
Nah, biar lebih jelas saya kupas satu per satu, ya...
Universitas Kehidupan
UGM menjadi magnet pertama yang membuat saya jatuh cinta pada Jogja. Bagi seorang remaja belasan tahun yang baru lulus SMA, bisa diterima di salah satu kampus paling bergengsi se-Indonesia Raya adalah suatu kebanggaan dan sekaligus menjadi rasa syukur yang tak berkesudahan. Jatuh bangunnya perjuangan selama mempersiapkan diri agar sukses UMPTN rasanya terbayar lunas ketika di suatu pagi-pagi buta menemukan nama saya terpampang di koran lokal menjadi salah satu orang yang berhasil menyingkirkan ribuan pesaing untuk mendapatkan satu kursi di Fakultas Psikologi UGM.
[caption caption="gedung pusat ugm (dokpri)"]

Menjalani kuliah adalah sesi kisah menarik lainnya. Sempat merasakan suasana kuliah di Lantai 3 Gedung Pusat UGM juga merupakan kisah menarik tersendiri. Bangunan bersejarah yang menjadi landmark Universitas Ndeso ini memiliki artefak kisah yang tak pernah habis dikenang. Tak hanya itu, memiliki dosen-dosen nan cerdas adalah impian yang terwujud nyata. Dari mereka saya menemukan oase pengetahuan yang menyenangkan.
Berinteraksi dengan teman kuliah dari berbagai provinsi di Indonesia semakin mengukuhkan sebutan Jogja sebagai miniatur Indonesia. Saya yang tadinya hanya memiliki teman dari Solo dan sekitarnya lalu meluaslah pergaulan saya dengan teman dari berbagai daerah dan latar belakang. Tadinya saya berpikir saya bakal kesulitan beradaptasi dengan mereka semua, nyatanya saya sangat menikmati setiap momentum yang saya habiskan dengan teman-teman. Gaya blak-blakan ala sahabat Batak saya Rahmi Lubis malah membuat saya nyaman karena pada dasarnya saya memang kurang suka basa-basi.
Anak Kos
[caption caption="sumber: instagram evy sofia"]
Menikmati kehidupan ala anak kos sangat menyenangkan walau pada awalnya sempat bingung juga. Sejak awal kuliah sampai lulus menempati rumah kos yang sama karena bapak berpesan agar saya tetap tinggal di situ, nggak boleh pindah-pindah. Saya paham banget sih kenapa bapak sangat sreg dengan kos di daerah Sagan ini. Ya iyalah, lha wong ibu kosnya galak dan aturannya ketat banget. Tentu saja bapak merasa aman tentram karena merasa anak sulungnya ini bakalan terjaga dengan baik.
Untungya kegalakan ibu kos sedikit tereliminasi dengan kehadiran teman-teman kos yang gokil-gokil. Kami sering menghabiskan waktu mulai dari diskusi bareng, hang out bareng ke Jalan Solo, ngadem di Galeria Mal saat bulan puasa, sampai dengan ngumpul di balkon lantai dua sambil ngerumpiin tetangga depan kos yang wajahnya mirip Chrisye.
Jatuh Cinta pada Dunia Organisasi
Berawal dari atribut OSPEK saya jadi kenal dengan mas-mas yang kos di komplek Mushola Al Huda. Mereka begitu berbaik hati membantu membikinkan aneka tugas yang diminta oleh raka dan rakanita OSPEK. Dalam sehari atribut plus tugas yang dibikin bisa mencapai 18 item. Manalah mampu beta ini menyelesaikannya sendirian sementara keesokan harinya sebelum pukul 06.00 sudah harus sampai di kampus? Untung ada beberapa mas-mas yang berbaik hati membantu saya membuat aneka tugas mulai dari yang masuk akal sampai yang aneh-aneh.
Nah, mas-mas yang baik hati ini seperti saya singgung di atas kos di Mushala Al Huda Sagan. Dari seringnya kami berdiskusi akhirnya saya tahu rupanya di mushala itu ada sebuah organisasi mahasiswa yang sudah lama malang-melintang berbakti untuk negeri. Mereka yang tergabung dalam organisasi ini terdiri dari para mahasiswa dari berbagai kampus di Jogja. Jadi saya melihat organisasi ini lebih menantang daripada organisasi kampus yang homogen terdiri dari mahasiswa satu universitas saja.
Melihat kiprah oranisasi yang saya lihat sangat positif bagi masyarakat sekitar, mulailah saya tertarik untuk bergabung dan aktif berpartisipasi. Sejak saat itu saya mulai belajar berkomunikasi, berbicara di muka umum, mengadministrasi organisasi, belajar menyampaikan pendapat di muka forum, melobi pihak ketiga yang hendak diajak kerjasama, dan berbagai ketrampilan mengelola organisasi yang lain. Tercatat hampir 4 tahun saya menikmati waktu dan menggembleng diri agar kelak tidak terkaget-kaget ketika masuk ke dunia kerja.
Kota Sejuta Buku
Bisa dikatakan tiada hari tanpa pameran di Jogja. Yang paling menarik minat saya tentu saja pameran buku. Biasanya pameran digelar di auditorium kampus, Gedung Wanita, atau JEC. Tawaran harga murah dan diskon tentunya sangat menggoda bagi mahasiswa. Dengan rupiah yang sama, ada lebih banyak buku yang bisa dibawa pulang ke kos. Siapa yang tahan godaannya, coba?
Sebenarnya sih tanpa harus ke pameran pun, Jogja memang surganya buku murah. Banyak toko buku yang menawarkan diskon sepanjang hayat dikandung badan, misalnya Shopping Center, Toga Mas, dan Sosial Agency. Di luar ketiga toko tersebut saya memiliki referensi tempat untuk hunting buku yang lebih asik. Bersama Arien –teman kuliah di Universitas Sanata Dharma- seringkali kami mengunjungi Pasar Buku Terban di sebelah UII Cik Di Tiro. Saking seringnya menyambangi tempat itu, sampai-sampai banyak pedagang buku yang kenal dengan kami berdua. Belum juga motor terparkir, pasti ada saja bakul buku yang menyambut kami dengan sapaan hangat. Sungguh mengharukan...
Ajang Berwirausaha
Ada kalanya keinginan berwirausaha menggelitik batin saya. Memang sih kuliah di Jogja relatif murah saat itu, namun hasrat untuk mencari uang sendiri sungguh menggoda hati. Saya berpikir alangkah asiknya bila saya punya uang sendiri di luar uang saku yang diberikan orang tua, uang gaji asisten dosen, dan uang beasiswa yang saya dapatkan. Minimal saya bisa memuaskan keinginan untuk memborong lebih banyak buku yang saya sukai lah, pikir saya.
Saat itu bisnis makanan sedang hits di Jogja. Hampir di setiap sudut kota banyak ditemui berdirinya warung makan baru dan bahkan internet cafe juga sedang booming. Dari beberapa kali kunjungan ke warnet, saya mengamati kadang pengunjung merasa kelaparan dan mencari makanan kecil seperti cake dan snack. Nah, ini yang namanya peluang. Kenapa saya tidak mencoba menyuplai makanan kecil ke warnet. Nampaknya bisnis ini menggiurkan juga. Andaikan satu warnet dapat saya suplai 50 potong cake dan 50 bungkus snack, tinggal saya kalikan saja keuntungannya dengan banyaknya warnet yang saya jadikan mitra kerjasama.
Mulailah saya mencari rekanan untuk bekerja sama. Setelah mencari-cari ketemu juga dengan pembuat brownies yang mau saya ajak kerjasama. Alhamdulilah, beliau mengijinkan saya mengambil dagangan terlebih dahulu dan membayarnya via transfer bila uang dari pengelola warnet sudah terkumpul. Kembali saya menggandeng Arien untuk menjalankan usaha ini.
Masih segar dalam ingatan saya betapa semangatnya kami menembus dinginnya kota Jogja di malam hari untuk menawarkan dagangan yang kami miliki di warnet yang tersebar di penjuru Jogja. Kadang penerimaan yang kami terima, namun ada juga penolakan yang harus kami telan. Dari sini kami belajar no pain, no gain; high pain, high gain.
Setelah berjuang akhirnya kami mendapatkan sekitar 20-an warnet yang bersedia dititipi dagangan. Rasanya luar biasa senang. Seminggu sekali setiap hari Selasa selepas kuliah, kami berdua memulai ‘petualangan ‘ berkeliling dari satu warnet ke warnet lain untuk menitipkan dagangan sekaligus mengambil uang hasil penjualan cake seminggu sebelumnya.
Menghabiskan waktu dengan menghitung laba sungguh merupakan moment yang membuat kami selalu bersyukur. Tak sia-sia jatuh bangun kami dalam berwirausaha. Walaupun kecil-kecilan, namun rasa bangga karena bisa berdikari sungguh luar biasa rasanya.
Kota Segudang Ilmu
Bila ada orang yang mengatakan mencari ilmu di Jogja serba mahal, pasti orang itu tidak pernah menikmati waktunya untuk berburu ilmu gratisan. Di Jogja tersedia berbagai ilmu yang bisa didapatkan tanpa harus membayar sepeser pun juga. Sebagai Kota Pelajar, Jogja tak pernah kering dari sentuhan intelektual di setiap sudutnya.Begitu banyak kampus atau lembaga yang menawarkan pengetahuan baru yang mensyaratkan kemauan dan badan sehat saja bagi yang ingin menikmatinya.
Ajang Ramadhan di Kampus UGM, misalnya. Begitu banyak tokoh besar yang membagikan ilmunya kala bertugas sebagai pembicara pada kegiatan sholat tarawih. Gedung University Center UGM juga hampir tak pernah sepi dari kegiatan seminar yang dihelat dari berbagai disiplin ilmu. Beberapa di antaranya memang berbayar, namun tak kurang juga yang gratisan.
Tak hanya di UGM, puluhan kampus yang tersebar di Jogja seakan berlomba-lomba menawarkan dirinya sebagai oase ilmu yang menawan. Saya masih ingat ketika saya dan Arien dengan manisnya ‘terdampar’ di seminar teologi yang bertempat di UIN Sunan Kalijaga. Materi yang disampaikan cenderung berat dan membuat dahi berkerut, namun rasa antusias bisa berdiskusi langsung dengan mahasiswa salah satu Sekolah Tinggi Teologi sungguh merupakan pengalaman baru yang mampu mengalahkan segala malas di hati.
Ajang promosi buku baru yang digelar dengan tajuk bedah buku juga selalu dihelat secara gratis. Biasanya acara ini menyatu dengan event pameran buku. Bila beruntung, pengunjung bisa mendapatkan doorprize berupa buku yang sedang dibedah lengkap dengan tanda tangan penulisnya. Tinggal angkat tangan dan mengajukan pertanyaan saja syaratnya. Gampang, kan?
Oh ya, ada satu lagi. Beruntung sekali saya kos di daerah Sagan yang dekat dengan Lembaga Indonesia-Jepang (LIJ) dan Lembaga Indonesia-Perancis (LIP). Kedua lembaga tersebut seringkali menggelar event yang memuaskan dahaga intelektual semacam pemutaran film, diskusi, dan bedah buku yang sarat nuansa kebudayaan di kedua negara tersebut. Kabar gembiranya adalah event tersebut kadang digelar secara gratis.
Ah, Jogja memang selalu membuat saya jatuh cinta bahkan hingga detik ini. Tak heran bila salah satu impian saya adalah dapat kembali ke Jogja untuk mereguk sepuasnya ilmu yang ditawarkan melimpah ruah di sana. Semoga tercapai...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI