Mulailah saya mencari rekanan untuk bekerja sama. Setelah mencari-cari ketemu juga dengan pembuat brownies yang mau saya ajak kerjasama. Alhamdulilah, beliau mengijinkan saya mengambil dagangan terlebih dahulu dan membayarnya via transfer bila uang dari pengelola warnet sudah terkumpul. Kembali saya menggandeng Arien untuk menjalankan usaha ini.
Masih segar dalam ingatan saya betapa semangatnya kami menembus dinginnya kota Jogja di malam hari untuk menawarkan dagangan yang kami miliki di warnet yang tersebar di penjuru Jogja. Kadang penerimaan yang kami terima, namun ada juga penolakan yang harus kami telan. Dari sini kami belajar no pain, no gain; high pain, high gain.
Setelah berjuang akhirnya kami mendapatkan sekitar 20-an warnet yang bersedia dititipi dagangan. Rasanya luar biasa senang. Seminggu sekali setiap hari Selasa selepas kuliah, kami berdua memulai ‘petualangan ‘ berkeliling dari satu warnet ke warnet lain untuk menitipkan dagangan sekaligus mengambil uang hasil penjualan cake seminggu sebelumnya.
Menghabiskan waktu dengan menghitung laba sungguh merupakan moment yang membuat kami selalu bersyukur. Tak sia-sia jatuh bangun kami dalam berwirausaha. Walaupun kecil-kecilan, namun rasa bangga karena bisa berdikari sungguh luar biasa rasanya.
Kota Segudang Ilmu
Bila ada orang yang mengatakan mencari ilmu di Jogja serba mahal, pasti orang itu tidak pernah menikmati waktunya untuk berburu ilmu gratisan. Di Jogja tersedia berbagai ilmu yang bisa didapatkan tanpa harus membayar sepeser pun juga. Sebagai Kota Pelajar, Jogja tak pernah kering dari sentuhan intelektual di setiap sudutnya.Begitu banyak kampus atau lembaga yang menawarkan pengetahuan baru yang mensyaratkan kemauan dan badan sehat saja bagi yang ingin menikmatinya.
Ajang Ramadhan di Kampus UGM, misalnya. Begitu banyak tokoh besar yang membagikan ilmunya kala bertugas sebagai pembicara pada kegiatan sholat tarawih. Gedung University Center UGM juga hampir tak pernah sepi dari kegiatan seminar yang dihelat dari berbagai disiplin ilmu. Beberapa di antaranya memang berbayar, namun tak kurang juga yang gratisan.
Tak hanya di UGM, puluhan kampus yang tersebar di Jogja seakan berlomba-lomba menawarkan dirinya sebagai oase ilmu yang menawan. Saya masih ingat ketika saya dan Arien dengan manisnya ‘terdampar’ di seminar teologi yang bertempat di UIN Sunan Kalijaga. Materi yang disampaikan cenderung berat dan membuat dahi berkerut, namun rasa antusias bisa berdiskusi langsung dengan mahasiswa salah satu Sekolah Tinggi Teologi sungguh merupakan pengalaman baru yang mampu mengalahkan segala malas di hati.
Ajang promosi buku baru yang digelar dengan tajuk bedah buku juga selalu dihelat secara gratis. Biasanya acara ini menyatu dengan event pameran buku. Bila beruntung, pengunjung bisa mendapatkan doorprize berupa buku yang sedang dibedah lengkap dengan tanda tangan penulisnya. Tinggal angkat tangan dan mengajukan pertanyaan saja syaratnya. Gampang, kan?
Oh ya, ada satu lagi. Beruntung sekali saya kos di daerah Sagan yang dekat dengan Lembaga Indonesia-Jepang (LIJ) dan Lembaga Indonesia-Perancis (LIP). Kedua lembaga tersebut seringkali menggelar event yang memuaskan dahaga intelektual semacam pemutaran film, diskusi, dan bedah buku yang sarat nuansa kebudayaan di kedua negara tersebut. Kabar gembiranya adalah event tersebut kadang digelar secara gratis.
Ah, Jogja memang selalu membuat saya jatuh cinta bahkan hingga detik ini. Tak heran bila salah satu impian saya adalah dapat kembali ke Jogja untuk mereguk sepuasnya ilmu yang ditawarkan melimpah ruah di sana. Semoga tercapai...