Sebagian orang berpendapat bahwa pendidikan berkualitas memerlukan biaya yang cukup besar, dan kontribusi dari masyarakat diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka berargumen bahwa biaya tambahan, seperti uang pangkal dan uang gedung, berperan penting dalam mendukung operasional sekolah dan peningkatan fasilitas.
Menurut pandangan ini, pemerintah memiliki keterbatasan anggaran yang membuatnya sulit untuk menyediakan pendidikan berkualitas tinggi tanpa dukungan dari masyarakat. Mereka menilai bahwa dana yang dialokasikan dari anggaran negara tidak selalu cukup untuk menutup semua kebutuhan sekolah. Misalnya, biaya untuk memperbaiki gedung sekolah yang rusak, membeli peralatan laboratorium yang mutakhir, atau menyediakan fasilitas olahraga yang memadai.
Di kota besar seperti Jakarta, beberapa sekolah swasta unggulan mengharuskan orang tua membayar biaya tinggi, tetapi juga menawarkan fasilitas yang sangat baik dan program pendidikan yang unggul. Sekolah-sekolah ini sering kali memiliki laboratorium lengkap, perpustakaan modern, serta berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung pengembangan potensi siswa. Pendukung pandangan ini menilai bahwa fasilitas dan program unggulan tersebut hanya mungkin diwujudkan dengan adanya biaya tambahan dari orang tua siswa.
Selain itu, kontribusi masyarakat melalui komite sekolah dianggap sebagai bentuk partisipasi aktif dalam proses pendidikan. Dengan adanya komite sekolah, orang tua memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan sekolah dan alokasi dana. Partisipasi ini dinilai mampu menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama antara sekolah dan orang tua.
Contoh nyata bisa dilihat di beberapa sekolah negeri di kota besar yang berhasil meningkatkan kualitas pendidikan berkat dukungan finansial dari orang tua siswa. Sebagai contoh, beberapa sekolah negeri di Surabaya berhasil mengembangkan fasilitas olahraga dan laboratorium yang memadai melalui sumbangan sukarela dari orang tua siswa. Pendukung pandangan ini berpendapat bahwa tanpa dukungan tersebut, peningkatan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah tersebut akan lebih sulit tercapai.
Namun, penting juga diingat bahwa pandangan ini tidak mengabaikan peran pemerintah. Dukungan dari masyarakat dianggap sebagai pelengkap bagi usaha pemerintah dalam menyediakan pendidikan berkualitas. Dengan kolaborasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat, tujuan untuk mencapai pendidikan yang berkualitas dan merata dapat lebih mudah tercapai.
Pendekatan yang seimbang, di mana pemerintah terus meningkatkan alokasi anggaran pendidikan sambil tetap mengakomodasi partisipasi masyarakat, dapat menjadi solusi yang efektif. Dengan demikian, pendidikan berkualitas dapat diakses oleh lebih banyak anak Indonesia, sehingga generasi mendatang dapat tumbuh dengan potensi maksimal mereka.
Menuju Pendidikan Gratis Berkualitas
Argumen bahwa pendidikan berkualitas memerlukan biaya tinggi dapat dijawab dengan meneliti contoh negara-negara lain yang berhasil menyediakan pendidikan berkualitas secara gratis. Pengalaman negara-negara ini menunjukkan bahwa kunci utama terletak pada kemauan politik yang kuat dan pengelolaan anggaran yang efektif.
Kuba, misalnya, meskipun memiliki sumber daya ekonomi yang terbatas, mampu menyediakan pendidikan gratis dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Keberhasilan ini dicapai melalui komitmen pemerintah yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama. Anggaran yang dialokasikan digunakan dengan sangat efisien dan transparan, memastikan bahwa setiap dana yang tersedia benar-benar dialokasikan untuk kebutuhan pendidikan.
Jerman juga merupakan contoh yang patut dicermati. Negara ini menerapkan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi dengan sistem pendidikan yang terkenal berkualitas. Pengelolaan dana pendidikan dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas tinggi, memastikan bahwa anggaran digunakan secara optimal untuk mendukung proses belajar mengajar dan fasilitas pendidikan.
Di Indonesia, masalah utama bukanlah kekurangan dana, melainkan ketidakmauan politik dan pengelolaan anggaran yang belum optimal. Anggaran yang ada sebenarnya cukup jika digunakan dengan tepat. Misalnya, pengalokasian dana pendidikan sering kali terhambat oleh birokrasi yang berbelit-belit dan korupsi. Akibatnya, dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan malah terserap oleh hal-hal yang tidak relevan.