Realitas yang demikian tentu membawa dampak negatif. Dampak negatif yang sangat sederhana adalah pemilik bahasa daerah seolah-olah berhak menggunakan bahasa daerahnya kapan dan dimana saja. Padahal dalam sebuah perkumpulan orang-orang hadir pula orang lain yang datang dari latar belakang daerah berbeda.
Walaupun dalam hati agak berat menggunakan bahasa daerah di tengah keberagaman latar belakang namun karena takut diadili secara sosial maka suka tidak suka tetap menggunakan bahasa daerah. Pada konteks ini penggunaan bahasa Daerah menjadi overdosis.
Sayangnya, penggunaan bahasa daerah yang overdosis tersebut merambat pada bidang lain. Dunia pendidikan menjadi salah satu sasaran dari penggunaan bahasa daerah yang berlebihan. Kehadiran bahasa daerah bukannya menguntungkan tetapi merugikan anak didik kita. Anak-anak sekolah dasar mengalami kesulitan besar dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Riset yang dilakukan oleh Save the Children menunjukkan bahwa hanya sekitar 10% total populasi Indonesia yang mendapatkan pendidikannya dalam bahasa pertama mereka. Masih banyak guru di kelas tingkat awal (kelas 1-3) hanya menggunakan bahasa Indonesia saat mengajar. Praktik tersebut menyulitkan bagi anak-anak yang belum lancar berbahasa Indonesia ketika mereka masuk sekolah
Studi awal Save the Children menunjukkan bahwa anak-anak yang belum lancar berbahasa Indonesia memiliki kemampuan literasi dan numerasi yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang sudah terbiasa dengan bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena mereka tidak sepenuhnya mengerti materi pelajaran yang disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Untungnya, Pemerintah Indonesia justru menyadari kondisi berlebihan pemakaian ini dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 63/2019. Perpu ini menegaskan bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Meski demikian, pada Pasal 23 Ayat 2, penggunaan bahasa daerah dibolehkan sebagai bahasa pengantar, terutama di level sekolah dasar (SD) untuk memudahkan proses pembelajaran.
Pada tahun 2018, program kerja sama pendidikan antara pemerintah Australia dan Indonesia (INOVASI), memfasilitasi guru untuk belajar menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar secara lebih efektif di dalam kelas.
Beberapa pendekatan yang umum digunakan adalah guru menjelaskan berbagai konsep pelajaran kepada siswa dengan bahasa daerah secara bertahap. Ketika siswa sudah cukup kuat dalam memahami konsep tersebut, guru melakukan transisi menggunakan bahasa Indonesia. Pendekatan ini dinamakan jembatan bahasa.
Pendekatan lanjutan yang digunakan adalah guru mengembangkan dan memperkenalkan media pembelajaran yang dilengkapi dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Pendekatan terakhir yang digunakan adalah guru melaksanakan metode mengajar partisipatif yang sesuai dengan kemampuan bahasa dan belajar masing-masing siswa.
Hasil dari model pendekatan di atas sangat mengejutkan. Beberapa hasil yang nampak terlihat adalah:
- Peningkatan kemampuan literasi siswa secara umum. Tingkat kelulusan tes literasi dasar (mengenal huruf, suku kata, dan kata) siswa dengan bahasa daerah meningkat dari 27% menjadi 79%.
- Mengurangi kesenjangan hasil belajar antara siswa yang lancar berbahasa Indonesia dan yang tidak.
- Penurunan kesenjangan antarsiswa yang lebih signifikan (7%) dibandingkan dengan daerah yang tidak melaksanakan pendekatan PMBBI (1%).