Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... Lainnya - Pencari Makna

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terhempas

12 Agustus 2019   13:11 Diperbarui: 12 Agustus 2019   14:24 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunyi gong dan gendang berkumandang. Setiap alat musik seolah-olah berlomba-lomba menunjukkan kemampuannya di hadapan telingaku. Perlombaan bunyi yang mengundang gairah untuk berjingkrak-jingkrak. Semua pergelangan sendi meronta-ronta. Semua urat saraf mendesak setiap pendengar turut bergoyang. Tetapi sekarang aku mengatakan tidak untuk ajakanmu agar aku menari lagi.

Aku diam. Aku hanya mendengar dengan penuh konsentrasi setiap hentakan pukulan gong dan gendang. Aku terus diam dan tetap fokus pada hentakan pukulan. Hentakan pukulan yang menikam jantungku. Semakin keras hentakannya, semakin sakit aku rasakan.

Aku Sebagai Mahkluk Cinta

Bukannya aku tidak memiliki alasan untuk mengatakan bahwa nada-nada gendang dan gong terasa menikam jantungku. Maria seorang gadis cantik. Dia, saya akui berwajah manis. Tidak hanya manis tetapi berhidung mancung pula. Sangat seksi, benar-benar seksi. Seorang wanita blasteran India.

Jujur saja aku sebagai pria normal sangat menaruh hati padanya. Menaruh hati bukan karena saya merasa iba padanya. Tetapi karena hatinya memang mulia. Namun kesan berhati mulia sudah tidak bertengger lagi di hatiku selama satu bulan belakangan ini.

Saya masih ingat baik suatu kejadian pada awal bulan ini. Dia tidak seperti biasanya lagi. Dengan nada humor ia mengatakan kepadaku: "Sayang, apakah kau yakin bahwa aku memang mencintaimu dengan sunguh-sungguh? Seyakin-yakinnya engkau akan cintamu padaku tetapi perlulah kau ingat bahwa keyakinan bisa saja berubah ketika kebenaran menyatakan dirinya." Pada awalnya aku hanya menganggap bahwa pernyataannya itu hanyalah sebuah pernyataan biasa-biasa saja. Namun pada kenyataannya ia memang tega melakukan itu.

Aku akui dan meyakini bahwa cintaku yang terawat secara rutin kepadanya selama lima tahun belakangan ini merupakan cinta terakhir bagiku. Keyakinan akan dia sebagai cinta terakhirku, aku pendam dalam hatiku yang paling dalam. Sebab aku bukanlah tipe lelaki yang mudah mengatakan cinta lantas tidak bertanggung jawab atas pernyataan itu.

Sekarang aku hanya duduk terpaku merasakan tikaman bunyi gong dan gendang ke jantungku. Ia sudah final dengan keputusannya. Ia sudah mengatakan tidak terhadapku dan mengatakan ya kepada yang lain.

Rombongan Pelengkap Penderita Datang

Dari jauh, terdengar bunyi kendaraan. Semakin lama, suara itu semakin mendekat. Degup jantung semakin cepat. Tikaman-tikaman itu semakin membabi buta. Lihatlah betapa banyak orang yang mengendarai kendaraan itu. Senyum orang-orang itu sangat bahagia. Senyuman yang menuduh aku sebagai orang yang kalah.

Lihatlah. Rombongan itu secara serempak turun dari kendaraan seolah-olah ada yang memberi aba-aba. Mereka mengambil posisi setengah lingkaran dan berarak menuju pintu masuk rumah adat.

Dengan gerakan spontan aku berdiri dan tanpa perintah siapapun membuntuti rombongan itu. Aku sebenarnya membawa sejuta beban. Langkah terasa berat. Kepala terasa mau pecah. Hati terasa sakit.

Aku masuk rumah adat bersama rombongan. Mereka dipersilahkan duduk pada tikar tradisional karya emak-emak di kampung ini. Setelah mereka semua duduk, aku berjalan dan menundukan badan sebagai tanda hormat. Seharusnya aku tidak melakukan ini karena aku sudah merasa dihancurkan oleh mereka ini. Aku sudah kalah memperebutkan hati wanita itu dan sekarang aku harus menghormati mereka.

Mata tajamku menyapu seluruh ruangan dan menemukan tempat duduk kosong. Tempat duduk yang kosong kutemukan di pojok. Syukur aku mendapat tempat yang aku harapkan pikirku.

Pembicaraan Dua Lelaki Tua

Di bagian depan seorang lelaki tua duduk bersila. Dia mengenakan sorban pada kepalanya. Giginya hitam. Kepulan asap rokok keluar dari mulutnya. Aku ingin menghancurkan saja gigi dan mulutnya. Dengan bahasa daerah yang fasih lelaki bersorban putih itu menyampaikan sepatah dua kata pembuka.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti senjata yang terus menikam jantungku. Aku merasa sesak dengan kata-katanya. Rangkaian kata-kata yang membentuk makna bahwa hari ini adalah hari terakhir bagiku dan hari pertama untuk pertunangan Maria dan calon suaminya. Aku tak mampu lagi.

Kepala kampungku juga tidak kalah dengan penampilan lelaki tua bersorban itu. Terlihat selendang songket terpasang melintang di depan dadanya. Sirih pinang memerahi bibirnya. Rokok tembakau buatan sendiri sebesar jari jempol diletakannya pada kedua bibirnya. Dia menyapa lelaki bersorban itu dengan suara lantang dan tegas. Semua pembicaraan dan segala properti yang dipakainya, aku anggap sebagai tanda kegagalanku.

Kaulah Penyebabnya

Pengantin wanita tersenyum simpul. Wajah pemiliknya terlihat cerah. Hari ini merupakan hari terkahir masa lajangnya. Aku tahu bahwa hatinya telah lepas. Lepas bebas. Tanpa ada ikatan sesuatu yang lain pada hatinya. Lelaki yang berada di hadapannya sekarang adalah cinta terakir yang sesungguhnya. Lelaki yang tidak akan lagi memberi peluang kepada Maria untuk berpinda ke lain hati. Cinta yang terfokus. Tetapi lelaki yang bagiku merupakan pecundang. Lelaki ini adalah penyebab bagi Maria mengakhi drama kehidupannya denganku.

Terhempas 

Hati terasa remuk. Cintaku yang kupelihara jatuh terhempas ke tanah. Tak ada lagi yang mengambilnya. Cinta yang dibiarkan begitu saja membusuk dan terurai oleh bakteri tanah. Ada rasa bersalah terhadap diri sendiri. Ada perasaan jengkel terhadap Tuhanku. Ternyata kau menebarkan kepalsuan atas nama cinta. Kau telah membuat drama kepalsuan yang sangat rapi. Kepalsuan demi kepalsuan dengan dan atas nama cinta telah mengorbankan diriku. Tega. Aku terhempas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun