Lihatlah. Rombongan itu secara serempak turun dari kendaraan seolah-olah ada yang memberi aba-aba. Mereka mengambil posisi setengah lingkaran dan berarak menuju pintu masuk rumah adat.
Dengan gerakan spontan aku berdiri dan tanpa perintah siapapun membuntuti rombongan itu. Aku sebenarnya membawa sejuta beban. Langkah terasa berat. Kepala terasa mau pecah. Hati terasa sakit.
Aku masuk rumah adat bersama rombongan. Mereka dipersilahkan duduk pada tikar tradisional karya emak-emak di kampung ini. Setelah mereka semua duduk, aku berjalan dan menundukan badan sebagai tanda hormat. Seharusnya aku tidak melakukan ini karena aku sudah merasa dihancurkan oleh mereka ini. Aku sudah kalah memperebutkan hati wanita itu dan sekarang aku harus menghormati mereka.
Mata tajamku menyapu seluruh ruangan dan menemukan tempat duduk kosong. Tempat duduk yang kosong kutemukan di pojok. Syukur aku mendapat tempat yang aku harapkan pikirku.
Pembicaraan Dua Lelaki Tua
Di bagian depan seorang lelaki tua duduk bersila. Dia mengenakan sorban pada kepalanya. Giginya hitam. Kepulan asap rokok keluar dari mulutnya. Aku ingin menghancurkan saja gigi dan mulutnya. Dengan bahasa daerah yang fasih lelaki bersorban putih itu menyampaikan sepatah dua kata pembuka.
Kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti senjata yang terus menikam jantungku. Aku merasa sesak dengan kata-katanya. Rangkaian kata-kata yang membentuk makna bahwa hari ini adalah hari terakhir bagiku dan hari pertama untuk pertunangan Maria dan calon suaminya. Aku tak mampu lagi.
Kepala kampungku juga tidak kalah dengan penampilan lelaki tua bersorban itu. Terlihat selendang songket terpasang melintang di depan dadanya. Sirih pinang memerahi bibirnya. Rokok tembakau buatan sendiri sebesar jari jempol diletakannya pada kedua bibirnya. Dia menyapa lelaki bersorban itu dengan suara lantang dan tegas. Semua pembicaraan dan segala properti yang dipakainya, aku anggap sebagai tanda kegagalanku.
Kaulah Penyebabnya
Pengantin wanita tersenyum simpul. Wajah pemiliknya terlihat cerah. Hari ini merupakan hari terkahir masa lajangnya. Aku tahu bahwa hatinya telah lepas. Lepas bebas. Tanpa ada ikatan sesuatu yang lain pada hatinya. Lelaki yang berada di hadapannya sekarang adalah cinta terakir yang sesungguhnya. Lelaki yang tidak akan lagi memberi peluang kepada Maria untuk berpinda ke lain hati. Cinta yang terfokus. Tetapi lelaki yang bagiku merupakan pecundang. Lelaki ini adalah penyebab bagi Maria mengakhi drama kehidupannya denganku.
TerhempasÂ