Mohon tunggu...
evi wiwid
evi wiwid Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi liburan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Waris Perdata: Menerima dan Menolak Warisan oleh Ahli Waris serta Akibatnya

10 Maret 2024   04:29 Diperbarui: 10 Maret 2024   07:01 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam konsepsi secara singkat antara lainsebagai berikut.

  • Pengertian dari penerimaan  warisan adalah "mendapat memperoleh sesuatu harta peninggalan yang berupa barang-barang atau utang dari orang yang meninggal yang seluruhnya atau sebagian ditinggalkan/diberikan kepada para ahli waris atau orang orang yang telah ditetapkan, menurut surat wasiat" (C.S.T. Simorangkir, 1987:186)
  • Pengertian menolak warisan adalah " menyorong, mendorong sesuatu harta peninggalan yang berupa barang barang atau utang dari orang yang meninggal yang seluruhnya atau sebagian ditinggalkan/diberikan kepada para ahli waris dengan kata lain tidak menerima".
  • Pengertian ahli waris adalah " orang yang berhak menerima harta peninggalan atau harta pusaka seorang yang meninggal dengan kata lain orang yang berhak mewarisi".
  • Pengertian menurut hukum adalah "mengikuti peraturan peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan"
  • Pengertian perdata adalah sipil, perorangan dengan kata lain menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan

Banyak dari pihak yang berhak atas warisan, baik disadari maupun tanpa disadari, sering kali secara alamiah menunjukkan kecenderungan untuk menerima warisan secara tulus. Ini dapat tercermin dalam sikap dan perilaku mereka, seperti melakukan tindakan yang menunjukkan kesiapan untuk mengelola harta warisan, atau bahkan secara langsung menyatakan keinginan untuk menerima bagian mereka dari warisan. Hal ini dapat dipandang sebagai respons alami dari ahli waris terhadap warisan yang mereka miliki, walaupun dalam beberapa kasus mereka mungkin perlu secara resmi menyatakan pilihan mereka secara hukum.

  • Biasanya, orang yang berhak atas warisan menyadari bahwa warisan tersebut memiliki nilai yang menguntungkan. Oleh karena itu, kebanyakan dari mereka tidak akan menolak warisan atau menerima warisan dengan syarat tertentu (beneficium), melainkan akan menyatakan menerima warisan secara tulus (adici). Ini karena mereka menyadari bahwa warisan tersebut dapat memberikan manfaat dan keuntungan bagi mereka, sehingga mereka memilih untuk menerima warisan secara utuh dan tidak membatasi hak mereka terhadap harta warisan tersebut.
  • Bagi setiap individu yang berhak atas warisan, jika mereka tidak didesak oleh kreditur untuk membuat keputusan, mereka memiliki waktu hingga tiga puluh tahun, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1055 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini berarti mereka memiliki waktu yang cukup panjang untuk memutuskan sikap mereka terhadap warisan yang mereka terima. Dalam periode tersebut, mereka dapat mempertimbangkan dengan matang semua aspek dan konsekuensi dari menerima atau menolak warisan tersebut sebelum akhirnya membuat keputusan yang tepat.
  • Bagi individu yang berhak atas warisan dan memilih untuk menolaknya, hal tersebut dapat membuka peluang bagi pihak lain atau ahli waris lainnya untuk memanfaatkan warisan yang terbuka tersebut. Dengan adanya penolakan tersebut, bagian warisan yang seharusnya diterima oleh individu tersebut menjadi tersedia bagi pihak lain untuk dibagikan sesuai dengan aturan warisan yang berlaku. Ini berarti bahwa ahli waris lainnya memiliki kesempatan untuk memperoleh bagian yang lebih besar dari warisan tersebut, tergantung pada pembagian yang ditetapkan oleh hukum waris yang berlaku.

Situasi di mana seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan banyak harta dan utang-utang dapat menimbulkan masalah bagi ahli waris, terutama jika total utang lebih besar dari jumlah harta yang ditinggalkan oleh si pewaris. Hal ini akan menjadi beban bagi ahli waris yang bertanggung jawab untuk melunasi atau membayar utang-utang tersebut, dan dapat menjadi lebih sulit jika ahli waris tersebut hidup dalam keadaan kekurangan.

Biasanya, ahli waris, terutama keturunan langsung si pewaris, berharap untuk segera mendapatkan bagian dari harta peninggalan. Mereka mungkin menganggap bahwa karena adanya ketentuan hukum, harta peninggalan akan otomatis beralih kepada mereka yang menerima secara tulus. Oleh karena itu, penolakan atas warisan dalam praktiknya jarang dilakukan oleh ahli waris.

Namun, dalam situasi di mana harta peninggalan tidak mencukupi untuk membayar semua utang-utang yang ditinggalkan oleh si pewaris, ahli waris mungkin terpaksa mencari solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ini bisa melibatkan negosiasi dengan kreditur atau pengadilan untuk menentukan pembagian yang adil dari harta peninggalan. Dalam beberapa kasus, ahli waris mungkin juga harus mempertimbangkan opsi untuk menolak warisan jika utang-utang yang terlalu besar melebihi nilai harta peninggalan.

Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan hak kebebasan kepada orang yang menjadi ahli waris untuk menentukan sikap mereka terhadap warisan yang terbuka bagi mereka. Seorang ahli waris dapat memilih untuk menerima warisan secara tulus (menerima murni), menerima dengan syarat tertentu (benefiser), atau menolak warisan. Pilihan tersebut harus dinyatakan secara jelas, kecuali dalam kasus penerimaan murni di mana tindakan-tindakan yang menunjukkan niat untuk menerima warisan juga dapat dianggap sebagai penyataan penerimaan.

Konsekuensi bagi ahli waris yang menerima warisan secara murni adalah mereka akan menerima seluruh aktiva dan pasiva dari warisan tersebut. Ini berarti mereka akan bertanggung jawab untuk membayar semua utang-utang yang ditinggalkan oleh pewaris. Harta pribadi mereka juga akan bercampur dengan harta warisan yang mereka terima. Sementara itu, bagi ahli waris yang menerima dengan syarat (benefiser), mereka hanya akan menerima aktiva dari warisan tersebut, dan mereka hanya bertanggung jawab untuk membayar utang-utang sejauh nilai aktiva yang mereka terima. Harta pribadi mereka akan tetap terpisah dari harta warisan. Sementara bagi yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris dan tidak akan memiliki klaim atas warisan tersebut.

Penolakan warisan dapat dilakukan kembali atau dipulihkan menurut ketentuan Pasal 1056 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini berarti bahwa seorang ahli waris yang telah awalnya menolak warisan dapat memutuskan untuk menerima bagian warisan mereka kembali, selama warisan tersebut belum diterima oleh ahli waris lain yang ditunjuk oleh undang-undang atau wasiat. Selain itu, Pasal 1056 juga menyatakan bahwa penolakan warisan dapat dibatalkan oleh kreditur si pewaris, asalkan pembatalan tersebut tidak merugikan pihak lain. Pemulihan warisan dapat dilakukan sejauh diperlukan, baik untuk mengatasi kerugian yang ditimbulkan oleh penolakan tersebut maupun untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang terlibat. Dengan demikian, proses penolakan warisan tidak bersifat mutlak dan dapat diperbaiki jika terdapat kebutuhan atau perubahan dalam situasi ahli waris tersebut.

Dengan demikian, warisan dapat dipahami sebagai harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia, yang kemudian beralih kepada orang lain yang masih hidup. Harta warisan meliputi benda-benda konkret dan abstrak, termasuk hak-hak (aktiva) dan kewajiban-kewajiban (pasiva).

Hak-hak dalam warisan mencakup wewenang yang dimiliki oleh si pewaris terkait dengan harta kekayaan yang ditinggalkannya, seperti hak untuk menagih piutang atau hak milik atas tanah dan properti lainnya. Sedangkan kewajiban-kewajiban meliputi pembayaran utang-utang si pewaris dan pengembalian barang-barang yang dipinjam selama hidupnya, serta kewajiban lainnya.

Namun, ada beberapa hal yang tidak termasuk dalam warisan, seperti hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sangat terkait dengan pribadi si pewaris, seperti hak-hak yang timbul dari hubungan kerja, asuransi untuk diri sendiri, dan hak-hak keluarga yang tidak dapat diwarisi. Misalnya, status hukum yang timbul dari perkawinan, kekuasaan orang tua, atau perwalian tidak termasuk dalam warisan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun