Fraud yang terstruktur, sistematis, dan terjadi secara luas, juga menjadi sumber kebocoran kapal BPJS.
Terdapat tiga opsi untuk meningkatkan kapasitas keuangan BPJS, yakni penyesuaian iuran, penyesuaian manfaat, dan bantuan dana pemerintah. Namun IDI dan organisasi profesi lainnya meminta defisit BPJS seyogianya tidak dijadikan alasan untuk mengorbankan kualitas pelayanan dan kesehatan pasien.
Sumpah Dokter dan Kesehatan Penderita
Menteri Kesehatan sempat mendesak agar aturan baru ini ditunda. Bahkan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mendesak agar BPJS mencabutnya. Selain IDI, Â Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Â turut menyuarakan hal yang sama.
Berikut alasannya:
Pertama, menyangkut pelayanan bayi baru lahir. Angka kematian bayi di Indonesia masih sangat tinggi bahkan bila dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara. Peraturan baru BPJS ini bertolakbelakang dengan visi untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi. Pencegahan dan penanganan optimal harus diberlakukan pada semua kelahiran, karena bayi baru lahir memiliki risiko tinggi mengalami sakit, cacat, dan bahkan kematian.
Kedua, menyangkut pelayanan katarak. Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan tingkat kebutaan tertinggi di dunia. Dengan aturan tersebut, angka kebutaan akan meningkat. Selain itu waktu tunggu pasien untuk dioperasi akan memanjang, terjadi penurunan produktivitas, dan peningkatan risiko cedera.
Ketiga, menyangkut pelayanan fisioterapi. Pembatasan fisioterapi 2 kali seminggu dinilai tidak sesuai standar pelayanan rehabilitasi medik. Hal ini mempersulit penanganan kondisi disabilitas, dan hasil terapi tidak akan maksimal.
Pembatasan jaminan ketiga pelayanan tersebut justru akan meningkatkan risiko komplikasi penyakit yang menambah beban pembiayaan ke depannya.
Keempat, memperparah konflik antara dokter, pasien, dan fasilitas pelayanan kesehatan. Misalnya pada pasien katarak yang ingin menjalani operasi, dokter harus menjelaskan bahwa operasi tidak ditanggung sampai penurunan tajam penglihatan sekian dan sekian. Maka bisa dibayangkan bagaimana reaksi pasien.
Pihak fasilitas kesehatan seperti rumah sakit juga terpaksa tidak memberikan pelayanan di luar yang dijamin karena khawatir biaya pelayanan tidak bisa diklaim ke BPJS. Bila ingin tetap menggunakan pelayanan, maka pasien harus mengeluarkan biaya sendiri. Sebagai akibat, pasien bisa menganggap dokter dan rumah sakit tidak mau memberikan pelayanan.