Di pulau yang ter- marginalkan ini hanya ada listrik tenaga surya. Tidak ada jaringan telepon. Untuk berhubungan dengan gadis pujaan, hanya lewat-lewat surat yang yang tuangkan segala rasanya. Gania hanya membalas singkat. Tidak apa-apa, yang penting Kala sudah tahu perasaan gadis itu. Tidak mungkin ia mengapeli Gania, ia tidak ingin merusak image-nya pada penduduk desa yang akan mungkin saja mengatasinya ber-KKN sambil mencari cinta.
Di suatu malam, ketika ia duduk di teras rumah kepala desa memandangi Bulan yang hanya separuh, Leon mendatanginya. Laki-laki berambut cepak itu duduk di sampingnya. Ia menyalakan pemantik untuk menyulut rokoknya. Kepulan asapnya dibawah ke segala arah oleh angin.
"Kamu jatuh cinta sama gadis pulau itu?" Leon tetap menyulut rokoknya. Ia heran dengan Kala, apa menariknya Gania. Jika didandani memang ia akan cantik. Tapi menurutnya gadis itu hanya panas dengan pria-pria di sini. Bukan seperti mereka.
"Kenapa?"
"Ternyata seleramu rendah, Bro."
Tidak menerima Gania dihina Leon, Kala menarik kerah baju Leon dan mendorongnya ke tembok. Jika tidak ingat mereka ada di mana, Kala sudah menghadiahi tubuh Leon dengan pukulan.
Â
 "Sekali lagi kamu bilang begitu, awas!" ancam Kala. Jari telunjuk Kala tepat di mata Leon. Ia tidak pernah semarah ini, ia tidak terima gadis yang sudah menyelamatkan nyawanya diremehkan.
"Kau serakah. Kau tidak ingat Eliza?" Leon menjauhkan tubuhnya dari Kala.Â
"Eliza itu urusanku."
"Kala ... Kala. Seenaknya saja kau permainkan perempuan." Leon tertawa mengejek. Eliza adalah salah satu yunior wanita di kampus mereka yang sering diperbincangkan oleh kaum Pria. Ia juga menyukai wanita blasteran Indonesia-Australia itu. Sayangnya, ia lebih memilih Kalandra. Kala sudah memenangkan Eliza, tapi ia tega mengkhianatinya.