"Kupikir aku benar-benar jatuh cinta padamu, Via. Cantik, pintar, dan ... kau sempurna. Tapi aku jatuh cinta lagi pada perempuan lain."
Pengakuan Ayi membuat seluruh tubuhku mengeluarkan air mata. Pengkhianatan ini meluluh lantakkan segalanya. Jiwaku, ragaku, perasaanku, dan hatiku. Aku pikir ia akan menjadi rumah di kemudian hari, tapi ia menghancurkannya sebelum dirancang. Kisahku yang malang. Ayi yang selalu berjuang untuk keadilan, tapi ia tidak berlaku adil pada cinta ini.
Cukup lama aku menangisi luka itu. Mungkin seperti ini yang dirasakan Ar ketika aku menolaknya. Mungkin lebih parah lagi, karena ia pergi jauh tanpa pernah berkabar. Ah, aku tiba-tiba merindukan Ar.Â
Aku berhasil menata hatiku. Menyibukkan diri di kampus dan mencari Ar ke mana-mana, di seluruh kota ini. Kutemui keluarganya dan mereka menyimpan rapat-rapat keberadaannya. Ia hanya memberiku selembar surat.
----Sepantasnya aku harusnya hanya mengagumi, bukan lancang mencintaimu, Viana---
Sesakit itukah Ar? Tapi, aku taktahu dia di mana. Aku ingin meminta maaf dan memohon memberiku kesempatan untuk mencintainya. Atau ia akan mengejekku, setelah dicampakkan oleh Ayi, aku baru mencarinya. Menganggapnya pelarian.
Aku tak diiberi kesempatan untuk bertemu Ar sampai kuliahku selesai, sampai aku sudah menjadi advokat. Aku tetap menunggunya dan takdir mempertemukan kami dalam situasi yang berbeda di kedai kopi ini.
Tidak sia-sia aku menempuh jarak ribuan kilometer, rupanya Tuhan ingin memberiku jawaban untuk penantianku yang takkunjung usai.
Kopi dan kenanganku telah habis, Ar dan wanitanya meninggalkan kedai ini dengan senyum paling bahagia dari yang pernah aku lihat dari Ar. Tersisa aku di sini
 dengan sepotong hati yang yang dipenuhi penyesalan.[]