Sudah dua bulan aku kembali dari kota kecil itu. Tugasku di sana telah selesai. Aku berhasil membantu masyarakat memenangkan kasus tanah. Akhirnya pihak perusahaan asing rela mengganti uang masyarakat sebagai ganti rugi.Â
Sayangnya di sana aku gagal mendapatkan cinta Arini. Beberapa kali aku mencoba menemuinya sebelum meninggalkan kotanya. Namun, selalu penolakan yang kudapatkan. Kecewa, tentu saja. Yang namanya ditolak pasti sakit. Apakah ini sebuah karma untukku? Dulu dengan gampangnya aku mematahkan hati perempuan. Kini aku merasakan hal yang sama.
Di kota besar ini---kembali aku beraktifitas seperti semula. Menemui klien yang butuh jasa pendampingan hukum. Aku lebih banyak menyibukkan diri untuk melupakan Arini. Perempuan itu betul-betul telah menyita sebagian waktu dan pikiranku.
Sore setelah pulang dari kantor. Aku berjalan-jalan untuk mengitari kota Makassar. Merefresh pikiran yang lagi galau. Kenapa aku menjadi melankolis seperti ini? Aku memukul jidat sambil menertawakan diri sendiri.
Tidak sengaja netraku menangkap perempuan berdiri di sisi jalan, sepertinya sedang menunggu angkot. Perempuan berambut sebahu dan berlesung pipi. Bukankah itu adalah---?
Buru-buru aku hentikan mobilku tepat di hadapannya. "Arini?" Aku menyapanya.
"Kak Runa?" Dia tersenyum saat melihatku. Aku bahagia melihat ekspresinya saat ini. Tidak kutemukan lagi duka di wajahnya.Â
"Sedang apa di sini?" Aku turun dari mobil dan mengajaknya duduk di halte mini yang kebetulan ada di situ.
"Kak Runa benar. Aku harus belajar menerima kenyataan. Jodoh dan maut adalah takdir."
"Apakah itu berarti, kau juga bisa menerimaku?"
Arini mengangguk malu. Namun itu sudah cukup bagiku. Aku akan mengajarinya melupakan masa lalu dengan memberinya cinta yang utuh.