Kesan lain? Awalnya saya agak terganggu dengan komen-komen yang muncul. Pating cruit dan bersahutan. Tapi lama-lama saya menikmatinya. Membayangkan pengajian sebenarnya, lesehan di pondok dengan ratusan jamaah. Berebut tempat duduk ternyaman dengan sesama santri, mencari posisi sahabat dekat, sambil sangu camilan haha. Jadi santuy banget.
Saya bahkan mulai berani duduk di belakang Pakdhe Mung Paryono yang selalu ndlosor, memanggil Uda Alfi Limbak Malintang Sati yang lebih suka di luar sambil ngudud, dan membawakan kopi gorengan untuk Mbah Nyut Triwibowo Budi Santoso.
Saya juga mulai berani ikut komen ngasal dan kalau mulai mengantuk, saya tekan tombol jempol atau waru di pojok kanan bawah itu berkali-kali, sampai melek lebar lagi.Â
Saya jadi tahu dari mana saja asal peserta mengaji ini saat absen kehadiran. Mulai dari Papua, Batam hingga Malaysia dan Abu Dhabi. Bahkan saya baru tahu ada daerah bernama Ciketing dan Parungserab. Jadi membayangkan, betapa seru kalau bisa kopdar  semua ya
::
Makin hari, saya merasa kitab Ihya semakin ringan. Bukan, bukan karena saya mulai cepat berpikir dengan benar ya. Tapi asli, Gus Ulil berhasil menarik saya dalam perjalanan thalabul ilmi yang menyenangkan ini.Â
Gus Ulil memandu perjalanan dengan gembira, Â untuk menemukan hal baru yang selalu kereeen. Kadang diajak meliuk, ngepot, sedikit ngebut, lalu ngerem alus untuk melihat keindahan di sekitar pemandangan luas tasawuf.
Ahya, setidaknya ada tiga hal yang konsisten terlihat dan terasa selama mengaji Ihya ini. Tentang ilmu yang ilmiah, tentang keikhlasan dan tentang inspirasi tak putus. Kata suami saya, Gus Ulil ini tiga I. Ilmiah, ikhlas dan inspiratif.
Ya, setiap penjelasan beliau selalu ilmiah. Pemikiran Al Ghozali yang dulu diharamkan Abah saya untuk saya terjemahkan dalam konteks kekinian, justru diulas Gus Ulil dengan rinci, hingga saya yang hanya remahan rengginang ini bisa memahaminya.Â
Referensi Gus Ulil sangat banyak dan beragam. Nama-nama berat berikut pemikirannya sering disinggung. Mulai Plato, Santo Agustinus, Immanuel Kant hingga Rene Descartes. Semua disampaikan dengan logis, sistematis dan ajeg. Prasyarat ilmiah dipenuhi Gus Ulil dalam tiap bahasan.Â
Bahkan sesekali Gus Ulil mengritik Al Ghozali dengan sangat santun. Buat saya sekarang, Ihya bukan lagi ada di awang-awang. Betapa saya sekarang bisa menyentuh Ihya, dan bisa saya cium harum sedapnya. Alhamdulillah, maturnuwun Gusti Allah.