Suatu hari beberapa tahun lalu. Saya mendapat undangan dari Direktur Pendidikan Agama Islam Kementrian Agama Republik Indonesia. Saat diskusi pemantik, saya menyampaikan sambatan tentang sulitnya mencari lulusan Perguruan Tinggi Keislaman Negri yang kualitasnya sesuai standar sebagian sekolah pengguna.
Bukannya tak ada yang bagus. Ada, banyak. Saya juga alumnus UIN lho. Sangat banyak yang bagus, kecuali saya...ups
Masalahnya? SD, SMP, SMA se- Indonesia dan yang sederajat sudah berkali ganti kurikulum, tapi ada beberapa hal yang belum nyambung dengan apa yang dipelajari di perguruan tinggi.
Pembelajaran di lapangan sudah menyesuaikan dengan era 4.0, eh masih ada calon guru yang gagap teknologi. Bahkan kebingungan saat diminta membuat penilaian dengan excel. Rata-rata sekolah kami mengajarkan tahfidz tahsin, tapi ada saja lulusan PAI yang saat dites membaca Al Quran tidak bisa membedakan idghom bighunnah dengan bila ghunnah. Calon guru matematika, ditanya tentang Kelipatan Persekutuan Terkecil malah balik bertanya, "Apa manfaatnya mengajarkan KPK pada murid kita?".
Begitu diminta micro teaching, usai salam dan mengajak berdoa, guru bertanya siapa murid yang tidak masuk hari itu, lalu memanggil nama anak satu persatu dan menyentrang di buku daftar hadir. Kalau muridnya 24 sekelas, berapa menit waktu terbuang?
Sementara, satu jam pelajaran untuk SMA saja, hanya 45 menit. Nggak boleh ya ngabsen? Boleh, tapi kan ada cara lain yang lebih menarik. Ganti-ganti cara asyik kan ya? Agar semua anak merasa istimewa di hadapan guru, tapi sekaligus membuat kelas hidup.
Masih ada juga yang menjelaskan konsep dengan metode ceramah. Padahal kemampuan rata-rata anak kita konsentrasi duduk diam, maksimal 10 menit. Jika satu guru mengajar 4 kelas paralel dengan pelajaran yang sama dalam satu hari itu, Â berapa banyak energi yang harus dikeluarkan untuk ceramah. Bagaimana jika dalam kelas ada anak yang sangat aktif dan gaya belajarnya kinestetik? Atau ada anak yang cerdas bahasa dan kebutuhan bicaranya banyak?
Bisa jadi guru akan kesal melihat muridnya pating slengkrah, ada yang ngobrol kanan kiri dan ada yang bolak balik bergerak tak tentu arah. Bukankah kekesalan guru pada murid tidak hanya menghalangi proses pemahaman pada pelajaran tapi juga bisa mengurangi keberkahan ilmu?
Pada rentang 2006 hingga 2010, saya membutuhkan 100 guru, untuk memenuhi kebutuhan semua sekolah yang saya konsultani. Setiap tahun, minimal seratus guru. Bayangkan betapa pusingnya ketika sekian banyak calon guru telah melewati proses seleksi ketat berlapis, begitu sampai pada tes membuat perangkat pembelajaran dan praktik mengajar, rata-rata berguguran dengan sukses.
Saya pernah frustrasi lho, apa standar yang saya buat terlalu tinggi?
Enggak juga ah. Bukankah calon guru pasti sudah pernah mendapat mata kuliah terkait perangkat pembelajaran dan sudah pernah mengikuti Program Pengalaman Lapangan, ngajar di sekolah yang dipilih kampus? Lagipula tuntutan masyarakat pada sekolah swasta begitu kan ya. Kadang nih, guru salah menjelaskan konsep dikit aja, orang tua murid langsung protes keras. Kalau bicara baik-baik atau menulis di communication book masih mending, tapi jika tiba-tiba menulis status di medsos, "Sekolah mahal, gurunya nggak becus. Kemana aja kepala sekolah dan konsultannya?"
Huaaa....mengerikan
Maka sungguh, guru harus mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi semua itu. Pada setiap pelatihan guru baru, saya selalu bertanya, "Mengapa anda ingin menjadi guru? Tahukah anda tugas guru? Apa yang akan anda lakukan selama setahun kedepan? Buku apa saja yang ingin anda baca? Pelatihan apa yang ingin anda dapatkan?".
Nah, setelah itu biasanya saya akan mengajak mereka bertanya pada diri, bener nih mau jadi guru? Ini lho hadiah bagi semua guru, tapi ini juga lho tantanganya. Kalau memang memilih jadi guru, harus siap ya. Termasuk menjadi teladan dan mendoakan semua murid setiap hari. Kalau niat dan tekad seperti ini sudah dimiliki semua guru, wah mantab surantab :D
Tentu saja, peran sekolah  juga sangat penting. Di sekolah Global Madani, semua guru wajib "kuliah" pada hari Sabtu. Murid libur, tapi semua guru harus mengupgrade diri pada program Personal Development. Mulai mematangkan kemampuan bahasa Arab Inggris, tahfidz tahsin, pendalaman materi, hingga memilih strategi pembelajaran.
Nah, semakin sering sekolah mengadakan pelatihan maka guru makin bagus. Makin siap masuk kelas dan menghadapi tantangan terkait tugasnya. Termasuk pelatihan bedah buku, manajemen kelas, komunikasi efektif dan banyak lagi tema lain.
Tapi bagaimana dengan sekolah yang jarang mengadakan pelatihan?
Disinilah peran besar fakultas keguruan dibutuhkan. Saya pernah melakukan kerjasama dengan dua jurusan, memesan lulusannya. Tapi lagi-lagi, tak semua mahasiswa dengan IP tinggi, siap turun mengajar.
Saya menyampaikan ini semua di forum beberapa tahun lalu. Pejabat Kemenag menyimak dengan baik dan berharap agar pertemuan itu menghasilkan sesuatu yang dahsyat. Saya tak tahu tindak lanjut FGDnya. Tapi setidaknya, keluhan saya sudah didengar oleh para ahli pendidikan dan praktisi hari itu.
Krik krik. Kemudian semua berjalan sebagaimana sebelumnya. Minimal, itulah yang saya tahu di sekitar saya. Masih kesulitan mencari guru yang baik. Bukan. Bukan guru yang ideal dan sempurna ya. Sebab menjadi guru ideal apalagi sempurna tak gampang, perlu jam terbang. Nyaris mustahil.
April 2019 saya bertemu seorang sahabat yang kebetulan menjadi Wakil Rektor di Institut Agama Islam Negri Jember. Sebelumnya, beliau pernah datang ke Global Madani pada kesempatan menjadi assesor di UIN Lampung.
Saya juga pernah diundang untuk memberi pelatihan di pondok pesantren milik keluarganya, dan terakhir seminar untuk para guru juga mahasiswa pasca Manajemen Pendidikan Islam di kampusnya. Pada kesempatan itulah kami diskusi tentang pendidikan, tentang keresahan terhadap sebagian kualitas calon guru dan juga tentang harapan pada mahasiswa fakultas kependidikan.
Saya sampaikan juga pengalaman menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi yang nyaris seluruh lulusannya terserap sekolah sekitar. Bahkan banyak mahasiswa semester 5 yang usai PPL atau pengabdian langsung dipesan sekolah pengguna. Sejak berdiri, hingga sekarang. Beliau antusias menyimak...lalu, "Kita coba yuk, Ning. Dimulai dari FTIK kami ya".
Dan pekan depan, saya akan memenuhi undangan belajar bersama dengan seluruh Ketua Program Studi di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kependidikan IAIN Jember. Apa yang akan saya sampaikan? Semua yang saya tulis disini. Sekaligus alternatif solusinya. Bahwa mahasiswa FTIK sudah harus siap menjadi guru begitu masuk kuliah tahun pertama.
Selanjutnya terus belajar teori dan komitmen. Memilih metode, memilah model dan pendekatan, menentukan strategi, menggali sumber belajar, menyiapkan media pembelajaran sampai cara menghadapi orang tua murid dan masyarakat.
Perbanyak diskusi, observasi, simulasi dan praktik langsung. Pas PPL, mereka sudah benar-benar kinclong. Bismillah.
Hm. Ini hanya ikhtiar ya. Pasti tak akan menyelesaikan semua masalah. Setidaknya, pertemuan kami semoga mampu menjawab sebagian pertanyaan dan meredakan satu dua kegelisahan.
Selebihnya, wallahu 'alam.
- DJ, 09.07.2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H