Mohon tunggu...
Evi Erlinda
Evi Erlinda Mohon Tunggu... Bio-Human Medicine -

Menetap di Baton Rouge, USA.\r\nBekerja di Our Lady of the Lake Regional Medical Center. Hospital.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tax Amnesty untuk Konglomerat dan Tax Holiday Selama Bulan Puasa, Mungkinkah?

27 Mei 2016   07:05 Diperbarui: 27 Mei 2016   09:00 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang sedang ribut ribut soal Tax Amnesty yang diterjemahkan secara bebas sebagai pengampunan pajak. Jumlah uang pajak yang digelapkan, kemudian akan diberi amnesty itu sangat fantastis, sekitar 300 triliun rupiah setiap tahun. 

Dengan demikian uang sejumlah itu hangus, sementara uang yang dibawa kabur tentu saja mencapai ribuan triliun. Negara tak dapat apa apa, rakyat biasa hanya mendapat berita (sambil gigit jari) bahwa uang pajak telah digelapkan.

Pertanyaannya, kalau konglomerat (orang kaya) diampunkan karena tak bayar pajak, bagaimana dengan rakyat biasa ? Apakah perlu dibebaskan dari bayar pajak, khususnya pajak penjualan pada bulan Ramadhan atau hari-hari tertentu ?  

Sebagai pembanding, praktik “tax sales holiday” (bebas pajak penjualan) dilakukan oleh hampir semua negara bagian (states) di Amerika Serikat. Di Louisiana ada dua momen penting diperlakukan bebas pajak penjualan, yaitu menjelang tahun ajaran baru dan menjelang musim hurricane (badai tropis).

Bukan rahasia, kalau mau masuk tahun ajaran baru sekolah, uang pengeluaran keluarga membengkak. Tax holiday diberikan selama tiga hari untuk belanja items yang berkenaan dengan sekolah seperti buku tulis, pena, pensil, penghapus, lem, baju seragam, sepatu, tas atau ransel sekolah, kertas dan sebagainya.

Selanjutnya, pajak penjualan ditiadakan (juga tiga hari) untuk membeli items yang berhubungan dengan persiapan menghadapi badai tropis. Musim badai biasanya di ujung bulan Mei sampai bulan September setiap tahun. Daftar barang lebih panjang dibanding untuk menyambut tahun ajaran baru. Divantara items tersebut adalah sebagai berikut (daftar lengkap items disediakan oleh Pemda) :

1)Harga dibawah AS$ 100 (Rp 1,3 juta) : lampu senter; tenda, terpal dan penutup plastik; peralatan penyimpan makanan; detector asap dan alat pemadam kebakaran; radio portable dan obat obatan atau alat pertolongan pertama kecelakaan.

2) Harga sampai AS$ 1.000 (Rp 13 jutaan) seperti generator dan inverter (mesin) listrik portable; gergaji listrik dan perlengkapannya; dan Photovoltaic devices (pembangkit listrik tenaga surya).  

3) Harga di atas AS$ 1.000 (diatas Rp 13 juta) harus minta izin tertulis ke pemerintah.

Selain pajak penjualan 12%, biasanya juga ada discount sekitar 15%. Pajak penjualan plus discount, menjadikan barang yang akan dibeli sangat amat murah. Misalnya harga normal item yang kita beli AS$ 100 (Rp 1,3 juta) tambah pajak penjualan 12% menjadi AS$ 112 (Rp 1,5 juta). Jika tanpa pajak dan ada discount, harga menjadi AS$ 85 (Rp 1,1 juta). Selisih Rp 400 ribu.   

Ramadhan dan Perayaan Agama Lain

Di negara kita (Indonesia), harga kebutuhan sehari hari meningkat drastis selama bulan Ramadhan, dan bahkan menjelang perayaan agama lainnya seperti Christmas dan tahun baru, termasuk juga imlek. Tiket pesawat bisa naik dua kali lipat, terutama dari Jawa untuk tujuan wilayah timur Indonesia.

Alasan kenaikan klise dan cenderung kriminal: supply tak mencukupi, sementara demand (permintaan) meningkat tajam; tersangkut di pelabuhan (distribusi); penimbunan dan sudah barang tentu spekulasi.

Anehnya, dari tahun ke tahun, pejabat pusat sampai pemda mengatasi fluktuasi harga dengan cara operasi pasar. Turun ke pasar pasar mengecek harga. Dapat diduga, baik pejabat dan pedagang terlihat cengengesan di depan TV dan media, seolah olah harga tetap, tak merangkak naik. Sandiwara basi, dan akhir cerita tak nyaman untuk ditebak.         

Setelah operasi pasar, diikuti himbauan-himbauan dari pejabat agar barang kebutuhan Ramadhan dan hari raya tidak naik. Seperti tong kosong, tak dipedulikan oleh pedagang bunyinya, dan memekakkan telinga rakyat biasa mendengarkannya.

Kenapa tak dicoba langkah yang lebih kongkrit ? Misalnya dengan membebaskan pajak penjualan selama bulan Ramadhan, dan perayaan agama lain. Insentif produksi diberikan, terutama untuk daerah daerah yang paling rentan ketersediaan kebutuhan bahan pokok di bulan Ramadhan, sehingga sisi supply bisa diatasi (tanpa persoalan distribusi).

Rakyat menunggu bukti, bukan himbauan-himbauan pemerintah agar barang tak naik selama bulan Ramadhan. Tak salah, kalau rakyat biasa juga dapat “pengampunan” pajak (penjualan) seperti para konglomerat. Hanya di bulan puasa, dan hanya untuk bahan pokok saja. Semoga !

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun