Kembali ke pokok pertanyaan bagaimana dokter sampai berani melawan “atasan” untuk memboikot obat mahal ?
Selama ini, dokter di Amerika selalu memakai obat yang namanya Avastin untuk mengobati kanker usus. Tanpa diberi obat, 93% (hampir semua) pasien akan meninggal dunia setelah 5 tahun (lihat grafik di bawah).
[caption caption="Grafik. Survival rate kanker usus tanpa diobati (sumber: Cancer Treatment Center of America, 2015)."]
Kemudian Dr. Leonard mencari tahu berapa harga obat lama dan obat baru. Mengejutkan, ternyata harga obat baru dua kali lebih mahal dari obat lama.
Biaya sebulan untuk pasien yang memakai obat baru (Zaltrap) sebesar $11.000 (Rp 143 juta), sedangkan obat lama tak sampai separuhnya hanya sebesar $5.000 (Rp 65 juta) sebulan.
Tambah terkejut setelah mengetahui total biaya berobat (termasuk beberapa jenis obat tambahan, pemakaian fasilitas rumah sakit, administrasi dan lain lain) yang harus ditanggung pasien sebesar AS$ 0,5 juta (Rp 6,5 Milyar) setahun.
Mengetahui hal ini semua, Dr. Leonard Saltz mengirim e-mail ke semua tim medis di Memorial Sloan-Kettering Cancer Center bahwa dia “memboikot” untuk menggunakan obat baru (Zaltrap), karena ternyata khasiatnya sama saja dengan obat lama, tapi harganya “mencekik” pasien. Di luar dugaan, e-mail Dr. Leonard mendapat tanggapan positif dari rekan rekan tim medis.
Berita boikot ini kemudian didengar oleh dokter dokter New York, dan segera memberikan dukungan. Saat ini seluruh Amerika Serikat sudah memboikot penggunaan obat Zaltrap. Obat baru hanya akan digunakan jika harganya lebih murah dan lebih ampuh khasiatnya.
Kasus Di Rumah Sakit Saya Bekerja
[caption caption="Salah satu ruangan pasien di rumah sakit tempat saya bekerja (sumber: dokpri)"]
Pertama, tentu saja dari pemerintah (pusat dan daerah), kedua dari sumbangan perusahaan perusahaan swasta (di Louisiana banyak perusahaan minyak dan petro kimia), dan ketiga dari “bapak angkat” istilahnya.