Kalau kamu jadi aku, mungkin kamu masih sama ingatnya kisah KKN kita sepuluh tahun lalu. Bukan lebay atau ga bisa move on, tapi kenangan itu benar-benar melekat erat di ingatan. Terutama senyummu. Seandainya kamu tau itu.
Ku dengar hidupmu sekarang semakin baik dan sukses. Menikah dengan pria yang benar-benar sesuai kriteria dan tipemu.Â
Persis seperti yang pernah kamu sebutkan sepuluh tahun lalu, sambil terkekeh memukul bahuku manja.
Bahkan Irwan bercerita kalau kamu sekarang sudah memiliki dua anak yang sama cantiknya dengan dirimu.Â
Ahh, andai Tuhan mencabut nyawaku detik ini juga dan memberiku kemampuan bereinkarnasi menjadi laki-laki muda, aku mau dijodohkan oleh Tuhan dengan salah satu anakmu itu. Hehe bercanda, cinta sejatiku tetap kamu!
Sepuluh tahun sudah berlalu, tapi rasanya aku masih merasakan lembutnya tanganmu memeluk erat pinggangku saat ku bonceng berkeliling desa Gunung Manik.
Jalanan yang terjal di tepi jurang, berbatu dan berbelok-belok membuat lokasi tujuan kita seperti tak pernah sampai. Tapi aku senang. Berharap jalanan di depan sana masih sangat panjang sampai tak terhingga jauhnya.
Motor yang ku pinjam dari pak Endi, sesepuh desa, sempat mogok dan hujan turun tak terduga.Â
Aku pikir Tuhan memang memberikan kesempatan langka itu agar aku bisa lebih berlama-lama denganmu, berdua saja di tengah hujan.
Tapi nyatanya, selama kita berteduh di sebuah saung reyot tak terpakai, di samping gapura desa yang sudah sama usangnya dengan jaket yang kupakai, kamu malah menangis ketakutan.