jejakkarbonku.id Dalam urusan keuangan, kalkulator adalah alat bantu hitung yang cukup dibutuhkan. Berapa pendapatan yang masuk, pengeluaran bulanan, persentase laba ataupun rugi, dan lain sebagainya. Lalu, apakah kalkulator yang sama dapat digunakan untuk memperkirakan akumulasi karbon harian yang kita hasilkan?
Sebelum hitung-hitungan masalah umur bumi, ada satu kawan yang harus aku perkenalkan kepada kalian. Dengan empat tangan dan menduduki nomor atom 6 dalam tabel periodik, karbon akan membantu hitungan kita dengan kalkulator karbon miliknya.
Karbon dapat lahir darimana saja dan terakumulasi di atmosfer. Kelahiran karbon berbanding lurus dengan peningkatan aktivitas manusia yang memanfaatkan energi dalam jumlah besar. Berdasarkan U.S.Environmental Protection Agency, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sektor transportasi menempati posisi teratas, disusul oleh tenaga listrik, industri, sektor komersial, dan agrikultur.
Uniknya lagi, karbon dapat lahir dan berlipat ganda hanya dari sepiring makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Bahkan, dilansir dari BBC News Indonesia, 35% dari semua emisi gas rumah kaca disebabkan oleh produksi pangan global. Mari kita lihat berapa besar kontribusi isi piring harian kita dalam emisi karbon di udara.
Ketergantungan manusia terhadap produk olahan dari ruminansia atau mamalia herbivora merupakan salah satu contoh bagaimana jejak karbon dapat dihasilkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sabate et al. (2015), produksi 1 kilogram protein dari daging sapi membutuhkan lahan 18 kali lebih banyak, air dan pestisida masing-masing 10 kali lebih banyak, bahan bakar 9 kali lebih banyak, dan pupuk 12 kali lebih banyak apabila dibandingkan dengan produksi 1 kilogram protein dari kacang merah.
Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), konsumsi daging global mengalami peningkatan signifikan mencapai dua kali lipat sejak awal tahun 1960-an. Padahal, fermentasi enterik ruminansia menghasilkan emisi CO2 yang cukup banyak sekitar 41% dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sektor pertanian.
Selain itu, alih fungsi hutan menjadi lahan penggembalaan maupun industri pengolahan daging turut berperan dalam pelepasan karbon sekitar 20%. Ditinjau dari segi konsumen, pola makan tinggi daging menghasilkan emisi karbon dua kali lebih tinggi daripada pola makan vegetarian. Maka dari itu, perubahan pola konsumsi dan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan diperlukan untuk mengurangi total emisi karbon harian.
Pengganti daging sebagai sumber protein dapat diperoleh dari mikroba seperti mikoprotein maupun dari tumbuhan seperti alga (Gonzalez et al., 2020). Dilansir dari BBC News Indonesia, produksi keju dan susu yang mayoritas dihasilkan dari hewan ruminansia juga berkontribusi terhadap jejak karbon sebanyak 10,8 kg CO2 per 100 g protein.
Untuk memenuhi kebutuhan protein harian sekitar 0,8 gram protein per kilogram berat badan, ada beberapa alternatif yang dapat menjadi pilihan. Alga dengan kemampuan penyerapan CO2 dalam proses fotosintesisnya memiliki kemampuan adaptasi yang baik dan laju pertumbuhan yang cepat sehingga dapat dikembangkan di rawa, air payau, kolam buatan, dan sungai dengan cara budidaya yang paling efektif.
Kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayam dan ikan memungkinkan alga dapat diolah menjadi produk pangan seperti mie dan es krim dari Spirulina. Strain mikroalga seperti Nannochloropsis memiliki sumber asam lemak omega tiga sekitar 39% yang baik untuk perkembangan janin dan mendukung fungsi otak.
Pemanfaatan alga lainnya dapat dilakukan melalui rekayasa genetika dimana alga khususnya cyanobacteria berpotensi diolah menjadi pupuk hayati dan biofuel melalui fermentasi glikogen menjadi etanol. Ditinjau dari segi kultivasi, budidaya alga pada kolam terbuka membutuhkan energi sebesar 0,2-0,5 kWH per kilogram biomassa alga yang mana kebutuhan energi tersebut lebih kecil daripada jumlah energi yang dibutuhkan untuk budidaya tanaman pertanian lainnya. Hal ini juga berlaku pada pemanfaatan lahan dan air untuk kultivasi alga juga lebih rendah dan ramah lingkungan (Diaz et al., 2022).
Seiring dengan perkembangan teknologi, single cell protein atau SCP patut diperhitungkan menjadi solusi substitusi daging dengan adanya produk Quorn. Pemanfaatan mikroorganisme yang tinggi vitamin B, protein, serat, dan rendah lemak seperti jamur sudah lama dikonsumsi oleh manusia dengan berbagai ragam hidangan. Sama halnya dengan jamur yang kita konsumsi, quorn yang berasal dari jamur Fusarium venetatum dapat diolah menjadi banyak produk pangan seperti burger, fillet, dan lainnya.
Sejauh ini, SCP dalam konsumsi manusia digunakan sebagai pengemulsi dan bahan tambahan untuk meningkatkan nilai gizi dalam masakan seperti jamur Candida utilis dalam pembuatan sup dan sebagai suplemen makanan seperti yeast dari produk samping industri pembuatan bir. Terlebih lagi, dalam produksinya, SCP menggunakan CO2 sebagai salah satu substratnya yang berpotensi untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari sektor pertanian (Amara and El-Baky, 2023).
Pembuatan daging analog tidak harus dikembangkan melalui teknologi rekayasa genetika. Daging analog dapat diproses dari bahan baku yang tersedia di alam Indonesia seperti jantung pisang, tepung mocaf, kacang merah, maupun tepung ampas tahu yang dibuat dari limbah. Daging analog juga dapat ditingkatkan kualitasnya dengan penambahan mikroalga Spirulina platensis sebesar 30% untuk meningkatkan nilai cerna protein sebesar 62.00%/bb (Sari dkk., 2022). Selain itu, pemanfaatan limbah ampas tahu dengan kandungan protein 26,6 gram/100gram limbah dapat diformulasikan menjadi sosis analog dengan mengubah limbah tersebut menjadi tepung ampas tahu terlebih dahulu (Purmaindah dan Estuti, 2022).
Isi piring harian setiap orang menentukan cepat lambatnya akumulasi karbon di udara. Mari kita keluarkan kalkulator dan berhitung sejenak. Misalnya rata-rata berat badan orang dewasa adalah 62 kilogram dengan kebutuhan protein 0,8 bagian dari berat badannya didapatkan hasil sebanyak 49,6 kilogram.
Di sisi lain, konsumsi daging sapi menyumbangkan emisi gas rumah kaca sebesar 49,89 kilogram/100 kilogram protein (Poor and Nemecek, 2018).
Mengikuti tren diet rendah karbon, setiap orang dapat mengurangi emisi karbon di udara kurang lebih sebesar 24,74 kilogram setiap harinya. Apabila 50% masyarakat global menerapkan pola konsumsi tersebut, bayangkan berapa kilogram karbon yang dapat dikurangi setiap harinya. Isi piring rendah karbon memungkinkan untuk diperluas hingga ke produk olahan lain seperti susu.
Substitusi susu dengan plant based milk seperti susu gandum, susu kedelai, dan susu almond dengan kandungan nutrisi yang kurang lebih sama dengan susu sapi. Dari penelitian Poore and Nemecek (2018), susu menyumbang 9,5 kilogram emisi CO2 per 100 gram protein. Apabila substitusi susu dari tumbuhan dapat dikembangkan nutrisinya sehingga penerimaan organoleptik dari konsumen menjadi lebih baik, pemangkasan konsentrasi karbon menjadi semakin efektif.
Daftar Pustaka :
1. Amara, A.A., and El-Baky, N.A. (2023). Fungi as a Source of Edible Proteins and Animal Feed. J.Fungi, 9(1),
73. https://doi.org/10.3390/jof9010073
2. Diaz, C. J., Douglas, K. J., Kang, K., Kolarik, A. L., Malinovski, R., Torres-Tiji, Y., Molino, J. V., Badary, A., &
Mayfield, S. P. (2023). Developing algae as a sustainable food source. Frontiers in nutrition, 9, 1029841. https://doi.org/10.3389/fnut.2022.1029841
3. Gerretsen, I. (2023, 27 Januari). Bagaimana Memilih Makanan Tinggi Protein dengan Jejak Karbon
Terendah. BBC.com. Diakses pada 25 Juni 2023, dari https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/articles/cprned9g7ygo.amp
4. González, N., Marquès, M., Nadal, M., & Domingo, J. L. (2020). Meat consumption: Which are the
current global risks? A review of recent (2010-2020) evidences. Food research international (Ottawa, Ont.), 137, 109341. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2020.109341
5. Purmaindah, C., dan Estuti, W. (2022). Sifat Organoleptik dan Kandungan Protein Formulasi “Soataram”
Sosis Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dan Tepung Ampas Tahu. Jurnal Pustaka Padi, 1(2), 44-50.
6. Poore, J., and Nemecek, T. (2018). Reducing Food’s Environmental Impacts Through Producers and
Consumers. Science, 360, 987-992.
7. Sabaté, J., Sranacharoenpong, K., Harwatt, H., Wien, M., & Soret, S. (2015). The environmental cost of
protein food choices. Public Health Nutrition, 18(11), 2067–2073. https://doi.org/10.1017/S1368980014002377
8. Sari, B.L., Dewi, E.N., dan Fahmi, A.S. (2022). Pengaruh Penambahan Spirulina platensis sebagai Sumber
Protein Nabati pada Daging Analog bagi Vegetarian. Jurnal Mutu Pangan, 9(2), 76-83.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI