Â
Ketika kita ingin mengetahui kisah kehidupan nenek moyang kita di masa lalu, maka museumlah tempatnya. Di Klungkung, Bali, Museum Daerah Semarajaya memberikan gambaran kehidupan rakyat jelata sampai anggota kerajaan Klungkung. Museum Semarajaya. terletak di dalam komplek taman wisata Kertha Gosa, jalan Untung Suropati nomer 3, Klungkung. Dulu gedung museum ini digunakan untuk sekolah jaman Belanda (MULO). Gedung ini dibangun pada tahun 1920. Kemudian gedung ini digunakan untuk SMP hingga akhir tahun 1990an. Tidak mengherankan apabila kita merasa seperti berada di sekolah jaman dulu, dengan ruang-ruang yang berjajar. Setiap ruang memiliki pintu penghubung antar ruang, selain pintu menuju teras bangunan. Museum ini diresmikan pada tanggal 28 April 1992. Di teras terdapat alat musik khas Bali yang terbuat dari bambu (rindik).
Melihat koleksi yang dimiliki oleh Museum Semarapura, dapat diketahui bahwa dulu masyarakat Klungkung menghasilkan gula aren, air nira (tuak), garam dan kain tenun cagcag untuk memenuhi kebutuhannya. Pengolahan air nira menjadi gula aren dan tuak dilakukan oleh penduduk di desa Dawan, Pekat dan Pikat. Pembuatan garam dilakukan oleh penduduk desa Pesinggahan yang berada di Pantai Gowa Lawah.
Pagi hari, proses pengolahan air nira diawali dengan ngirisin yaitu memanjat pohon kelapa, lalu memotong (mengiris) batang bunga kelapa (troktokan) dan menampung air yang ada di dalamnya dengan tempurung kelapa (beruk) dan lawu (campuran air tampah sirih dan kayu nangka). Beruk diikat dengan kuat agar tidak jatuh. Sore hari beruk tersebut diambil dan diganti dengan beruk lainnya. Air yang diperoleh dapat langsung diminum atau disebut tuak/ air nira.
Untuk mengolah air nira menjadi gula aren, yaitu air nira, minyak kelapa dan kapur sirih direbus di dalam jambangan. Jambangan diletakkan diatas jalikan (tempat yang diisi kayu bakar untuk merebus). Air nira tersbut diaduk hingga kental menggunakan sinduk (sendok), lalu dimasukkan ke dalam sebuah tempat yang menjadi takarannya. Diamkan hingga kering dan gula aren siap digunakan.
Seperti kerajaan pada umumnya, di Klungkung juga memiliki sistem peradilan. Hal ini dapat dilihat dari enam buah kursi dan sebuah meja ukiran yang ditata dalam ruang kaca. Meja kursi tersebut digunakan untuk persidangan di Bale Kertha Gosa pada tahun 1940an. Kursi dan meja terbuat dari kayu dan didominasi warna emas. Kursi dengan ukiran naga bermahkota pada sandaran tangan untuk tempat duduk Brahmana dan raja. Kursi dengan ukiran lembu untuk juru tulis dan pemanggil pesakitan. Kursi berukir singa untuk petinggi Belanda. Kursi dengan ornamen kerbau untuk hakim.
Ketika menghadiri upacara adat atau berpergian, raja menggunakan kursi tandu berukir yang terbuat dari kayu dan rotan. Kursi ini berasal Puri Kaleran, Semarapura.
Untuk makan sehari-hari, di Klungkung menggunakan peralatan makan yang terbuat dari tempurung kelapa. Peralatan makan yang menjadi koleksi Museum Semarajaya beragam seperti cangkir, lepek cangkir, sendok kecil, teko, tutup teko, sendok makan, garpu makan, sendok nasi, garpu besar, sendok goreng dan sendok sayur.
Selain membuat barang dari tempurung kelapa, masyarakat Klungkung juga membuat barang dari kuningan. Vas, selongsong peluru dan piala dibuat dari bahan kuningan yang diukir dengan rapi dan indah.