Di kota ini sehabis hujan
Desember yang lalu
Di kota ini dalam ruangan
Berpenyejuk udara
Kau dan wangimu bersanding dengan
Riuh angin di luar
(Dere-Kota)
Â
Sore ini langit seolah tak bersahabat, gelap mulai menyapa bersama tiupan angin. Aku berjalan menuju pintu yang saling bersautan, kutatap mendung yang mulai menitikkan air mata. Sesekali cahaya langit menampakkan kemarahannya, aku terkejut lalu masuk sambil menutup pintu rapat-rapat. Aku melihat arloji di tangan, sudah pukul empat sore, tetapi dia belum juga kembali, bisikku dalam hati.
Ruangan semakin terasa dingin, "Hufh, dingin banget," dia datang sambil membersihkan sisa air hujan di kepala dan membersihkan sepatunya pada serabut kelapa yang bertuliskan selamat datang.
"Ujan-ujanan, ya?" dia hanya mengangguk pelan sambil melempar senyum tipis di ujung bibirnya kemudian berlalu meninggalkanku. Seketika kutersadar dan mencari remote AC mengubah suhunya agar tidak terlalu dingin, kulihat dia kembali sembari membawa secangkir kopi hitam panas seperti obat pemanas untuk tubuhnya.
Aku kembali berkutat dengan benda persegi panjang yang berisikan huruf, angka dan simbol-simbol sambil sesekali kucuri pandang kearahnya, sikapku semakin tidak karuan ketika pandangan kita beradu tatap hingga kutumpahkan wajah ini ke bumi.
"Hai, sibuk?" tanyanya santai sambil duduk disampingku membuat sedikit gemetar.
"Eh, hmmm, enggak ko. Ada yang bisa aku bantu?" jawabku sambil terbata-bata mencari arah pandang yang tiba-tiba hilang, membetulkan posisi duduk agar tetap terlihat simetris. Wangi aroma tubuhnya masih saja liar di indera penciumanku.
"Aku butuh dokumen ini," sambil sedikit mendekat menunjukkan sebuah gambar dari ponselnya. Aku terdiam terpaku dengan degup jantung semakin berpacu.
"Ah, maaf. Baiklah akan kubantu," kembali aku menatap layar monitor sambil memainkan jari-jari di atas keyboard. Sekali, dua kali kata kunci yang kucari salah. Namun, dia masih saja menatap monitor yang sama. Sepertinya aku gugup, tetapi dia masih saja menungguku.
"Aku ngga bisa kalo ditungguin gini, aku grogi," ucapku sambil tetap menatap monitor.
"Owh nggak aneh, cewe-cewe suka gugup memang jika aku dekati," mataku terbelalak seketika menatap ke arahnya dan kami tertawa bersama tanpa tapi.
Â
***
Â
Di jalan ini menguning langit
Berkendara denganmu
Tajam mentari menembus pelan
Bening teduh matamu
Kau dan wangimu berpadu utuh
Tabungan kelak rindu
(Dere-Kota)
Â
Seperti biasa cuaca mendung di kala senja, awan seperti serempak berarak siap dengan titik-titik air diturunkan, langit menghitam didampingi angin yang berlarian, udara menjadi dingin seketika. Lampu jalanan mulai berkedip-kedip menyorotkan sinarnya, halte bus mulai penuh dengan orang-orang yang berlindung dari siraman hujan, ada yang bersiap-siap mengenakan jas hujan, berusaha menelepon mobil online, bahkan ada yang berusaha mencari kantong kresek hanya untuk melindungi kepalanya.
Berbeda denganku, aku masih menikmati hujan sambil duduk memainkan ponsel mendengarkan siaran radio kesayanganku, melihat satu persatu lalu lalang orang yang berpacu dengan waktu diiringi suara klakson mobil saling bersautan.
"Hai, kamu!" terdengar seseorang menyapaku dari balik kaca mobil yang sedikit terbuka, aku mencoba mendekati dan membuka headset di telingaku.
"Sedang apa? Ayo aku antar pulang," aku terbelalak kaget "Cepat masuk, hujan akan semakin deras," kata-katanya benar, hujan sebentar lagi seolah ingin mengeroyok orang-orang di kota ini.
Sepanjang jalan kami banyak bercerita, kami ternyata semenarik ini. Sorot mata yang meneduhkan dan gelak tawa mewarnai sepanjang perjalanan kami hingga hujan hampir usai dan digantikan mentari yang muncul perlahan dibalik awan dengan langit yang menguning.
"Kita langsung pulang atau ..." kalimatnya masih menggantung tanpa diteruskan.
"Aku salat dulu saja, sudah masuk waktu salat. Setelah itu baru kita pulang. Bagaimana?" pintaku memberikan sedikit masukan yang sesungguhnya aku pun masih ingin menikmati kebersamaan ini.
"Siap, Bos! tapi tunjukkan jalannya ya, di kota ini aku hanya tau jalan ke kosan dan ke kantor saja," ucapnya sambil tersenyum dan aku tertawa mendengar jawaban anehnya.
"Aku salat ya," seruku setelah kami tiba di pelataran masjid dan aku mengambil mukena di dalam tas.
"Oke, aku tunggu," dia hanya mengangguk diiringi senyuman lalu mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menikmatinya.
Itulah dia dengan segala kebaikannya, aku hanya sebatas mencintai hari-hari bersamanya tanpa berani berterus terang. Apakah aku salah jika terus berharap pada ciptaan Tuhan yang satu ini?
Aku tidak meminta banyak, meskipun aku tahu waktu dengan keadaan mengingatkanku untuk mundur perlahan.
Â
***
Â
Waktu berlalu dan memaksa kita berjarak. Menyedihkan, tetapi aku bisa apa? Hingga kini aku tidak tahu lagi bagaimana dia. Ingatan ini bergerak mundur seketika saat aku di tempat yang pernah kita lewati dan menemukan hal-hal yang mengingatkanku padanya.
Rindu tentangnya tidak pernah habis mengusik pikiranku, memusnahkan dia dari hatiku meskipun kita tidak pernah baik-baik saja.
Rindu ini pengagumnya yang tak akan pernah usang, kembali hangat meski tanpa saling pandang.
Aku adalah penikmat bayangannya tanpa harus kumiliki, merengkuh cinta melalui punggungnya, mengisyaratkan kasih seluas samudra yang tak pernah bisa aku selami.
Aku dan dia bukan Istiqlal dan Katedral yang selalu tenang berdiri berhadapan meskipun dalam perbedaan. Namun, tetap harmonis. Jika mereka pun bernyawa siapa yang bisa menduga kalau mereka akan saling jatuh cinta?
Udara mana kini yang kau hirup?
Hujan di mana kini yang kau peluk?
Di mana pun kau kini
Rindu tentangmu tak pernah pergi
(Dere-Kota)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H