"Hai, kamu!" terdengar seseorang menyapaku dari balik kaca mobil yang sedikit terbuka, aku mencoba mendekati dan membuka headset di telingaku.
"Sedang apa? Ayo aku antar pulang," aku terbelalak kaget "Cepat masuk, hujan akan semakin deras," kata-katanya benar, hujan sebentar lagi seolah ingin mengeroyok orang-orang di kota ini.
Sepanjang jalan kami banyak bercerita, kami ternyata semenarik ini. Sorot mata yang meneduhkan dan gelak tawa mewarnai sepanjang perjalanan kami hingga hujan hampir usai dan digantikan mentari yang muncul perlahan dibalik awan dengan langit yang menguning.
"Kita langsung pulang atau ..." kalimatnya masih menggantung tanpa diteruskan.
"Aku salat dulu saja, sudah masuk waktu salat. Setelah itu baru kita pulang. Bagaimana?" pintaku memberikan sedikit masukan yang sesungguhnya aku pun masih ingin menikmati kebersamaan ini.
"Siap, Bos! tapi tunjukkan jalannya ya, di kota ini aku hanya tau jalan ke kosan dan ke kantor saja," ucapnya sambil tersenyum dan aku tertawa mendengar jawaban anehnya.
"Aku salat ya," seruku setelah kami tiba di pelataran masjid dan aku mengambil mukena di dalam tas.
"Oke, aku tunggu," dia hanya mengangguk diiringi senyuman lalu mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menikmatinya.
Itulah dia dengan segala kebaikannya, aku hanya sebatas mencintai hari-hari bersamanya tanpa berani berterus terang. Apakah aku salah jika terus berharap pada ciptaan Tuhan yang satu ini?
Aku tidak meminta banyak, meskipun aku tahu waktu dengan keadaan mengingatkanku untuk mundur perlahan.
Â
***
Â
Waktu berlalu dan memaksa kita berjarak. Menyedihkan, tetapi aku bisa apa? Hingga kini aku tidak tahu lagi bagaimana dia. Ingatan ini bergerak mundur seketika saat aku di tempat yang pernah kita lewati dan menemukan hal-hal yang mengingatkanku padanya.
Rindu tentangnya tidak pernah habis mengusik pikiranku, memusnahkan dia dari hatiku meskipun kita tidak pernah baik-baik saja.
Rindu ini pengagumnya yang tak akan pernah usang, kembali hangat meski tanpa saling pandang.