Iya, Lagi. Beberapa hari yang lalu, wajahku pun mendapatkan luka goresan tipis. Lukanya tidak panjang. Aku pun pernah mendapatkannya dulu. Hal itu membuatku tidak terlalu menaruh curiga. Namun, memang dalam waktu hampir dua minggu di sini, aku sudah mendapatkan hampir tiga luka. Luka itu ada di lenganku, di wajahku, dan yang paling baru dan masih agak perih di punggung telapak kakiku.
Aku hanya membalas Sisil dengan mengangguk dan tersenyum. Tapi, luka yang kudapati saat ini memang agak berbeda. Lukanya tidak panjang, tapi cukup lebar. Setidaknya butuh obat merah dan plester luka. Untungnya aku bisa mendapatkannya.
Setelah membalut lukaku, aku pun bersiap untuk survei tempat untuk perpustakaan mini bersama dengan Nathan. Jangan salah sangka, meskipun namanya terdengar tampan, percayalah dia tidak setampan itu. Badannya kurus tinggi. Warna kulitnya yang membuatnya terlihat tampan, tapi kelakuannya sama sekali tidak. Dia cukup absurd dan terkenal tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan dengan baik.
Desa KKN-ku kali ini berada di atas gunung dan di tengah hutan, tapi di dekat laut. Tergambar begitu indah panorama pegunungan di sekeliling desa dan hawa sejuk yang tak ada hentinya meskipun terik matahari menyengat. Terkadang gemuruh ombak juga terdengar ketika kami berkendara melintasi jalanan.
Aku memakai kardigan cokelatku dengan celana training yang tidak ketat. Sedangkan Nathan memakai jaket tebal berwarna hitam dengan celana longgar sepertiku. Dia berusaha tampak seperti seorang member boyband, tapi percayalah penampilannya hanya didukung warna kulitnya. Aku akui, lumayan.
Aku membawa kamera untuk merekam tempat survei. Awalnya aku akan survei bersama Cebi. Namun, cowok berbadan gembul itu mendadak meriang dan digantikan oleh Nathan yang kini di depanku.
"Kita jalan kaki ya, Del?" Aku hanya mengangguk. Aku juga hanya memakai sandal karena luka di kakiku.
Jalanan yang terjal dan belum dibalut aspal seluruhnya membuat kami memutuskan untuk berjalan kaki. Aku paham. Nathan sebenarnya ingin berjalan kaki karena dia tidak bisa mengendarai motor di medan curam seperti ini. Dia terlalu takut jatuh.
Perjalanan yang kami tempuh sebenarnya cukup jauh. Namun, pemandangan yang ada di depan mata memberikan kami waktu cukup singkat untuk menikmatinya. Udara yang menyambar indra penghidu kami pun serasa lebih jernih daripada oksigen kalengan yang ada di apotek.
"Del, semalam lo dengar nggak?" Aku spontan menoleh kepadanya. "Suaranya datang dari ruangan cewek."
"Suara apa?" tanyaku.