Tak ada seorang insan pun yang disebut sebagai biarawan-biarawati yang tak melewatinya. Di sana canda, tawa, tangisan, pergulatan, dan perjuangan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ini sebuah proses penemuan jati diri. Layaknya seekor kupu-kupu yang telah melalui proses metamorfosa hingga akhirnya dia dapat ikut ambil bagian mewarnai dunia ini dengan keindahannya, begitulah diri kami.
Ketika awal memasukinya yang terlihat di hadapan kami hanyalah sebuah bangunan yang kokoh dengan berpuluh-puluh kamar dan berbagai ruangan lainnya. Seolah tembok dan kamar-kamar kecil itu berkata:
"Selamat datang sobat kecilku, di sini kau akan tumbuh menjadi wanita dewasa sesuai kehendak Sang Penciptamu. Kami siap mendengar tawamu, candamu, tangisanmu, cerita hidupmu di masa-masa yang silam.Â
Kami siap menjadi tempat kau mengukir dirimu dalam keheningan batinmu. Kami siap menjadi lapangan berumput hijau tempat kau belajar berjalan dengan langkahmu sendiri."Â
Bagai seekor ulat yang pulang dari pengembaraan kami merasa kecil, kotor dan menjijikkan di dalamnya. Tapi ternyata itu hanya perasaan kami saja.
"Datanglah, lihat bintik-bintik emas di tubuh kecilmu. Bukankah itu menandakan bahwa kau memiliki keindahan?" bisik suara keheningan itu.
Dengan sedikit perasaan bangga karena kami yang dipilih oleh-Nya tetapi juga sedikit perasaan takut akan sebuah kehidupan baru, kami melangkah memasukinya. Tembok-tembok dari bangunan itu bagai benang-benang sutra yang dirajut di sekitar tubuh kecil kami. Tiba-tiba kami sudah terbungkus dengan sangat rapat.
Apakah kami berada dalam kegelapan? Tidak. Cahaya mentari tetap dapat menembus dinding sutra itu dan menghangatkan tubuh kami. Apakah di dalam sana kami hanya berdiam diri? Sekali lagi TIDAK.
Di dalam sanalah kami tertawa dan menangis. Di sanalah kami berbagi tentang diri kami. Di sanalah dalam keheningan kami belajar membuka telinga dan pintu hati kami mendengarkan dan membiarkan setiap ajaran Sang Pencipta terpatri dalam lubuk hati kami. Seorang utusan Sang Pencipta yang menjadi pembimbing kami mengatakan bahwa inilah yang dinamakan tahun HENING BERSAMA ALLAH novisiat tahun pertama. Tetapi aku seekor ulat kecil, menamai duniaku dan diriku kini sebagai kepompong. Kami memulai masa novisiat pada tanggal 21 Juni 2007 di Banyumanik
Kalau kau belum pernah mengalaminya, kau tak akan pernah tahu betapa bahagianya kami di sana. Kami bahagia walau proses mengukir diri itu harus melewati saat-saat yang menyakitkan. Kadang kami kelelahan dan sekaligus merasakan kepuasan batin. Kami tahu Sang Pencipta tak pernah sedetikpun membiarkan kami seorang diri dalam bungkusan sutra itu.
Kehadiran-Nya selalu menggetarkan benang-benang sutra yang telah terajut rapi. Ketika jiwa kami menyentuh dinding sutra itu, kami tahu bahwa Dia telah turun dari tempat yang maha tinggi. Merendahkan diri-Nya dan dengan kasih yang amat besar Dia masuk ke dalam diri kami. Menyembuhkan luka-luka kami di masa lalu. Membentuk kami sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Bagaimana mungkin kami tak merasa bahagia di dalam cinta-Nya yang sedemikian dahsyat ini? Kami tak ingin mengingkarinya. Kami memang bahagia.
Ketika kami memasuki kehidupan di dalam tembok Novisiat ini kami berjumlah sembilan orang. Emerensiana, Karolina, Bernadeta, Lusiana, Fatima, Sofia, Risda, Albertina, dan Angela demikianlah nama sapaan yang digunakan oleh kakak- kakak malaikat kami yang tidak lain adalah kakak novis kami. Sang utusan yang adalah ibu pembimbing juga memanggil kami demikian. Bersama mereka kami memulai kehidupan ini. Bagaimana yang terjadi di dalamnya telah kukisahkan.
Kini aku ingin menceritakan bagaimana salah seorang saudari kami yang bernama Risda pergi meninggalkan kami. Pada suatu hari yang hening terdengar teriakan dari salah sebuah kamar.
"Aukh...... sakiiiiiit................sakiiiiiiiiiiiiit...............tolong akuuuu........"
Tanpa mengetuk pintu kami langsung memasuki kamarnya. Kami melihat Risda yang selalu ceria kini dengan wajah pucat berjuang menahan rasa sakit. Beberapa saudariku bergerak cepat mencari minyak kayu putih. Sedangkan kami yang lain terpekur dalam diam. Aku tahu bahwa jauh di lubuk hati kami masing-masing pasti sendang memohon pertolongan kepada Sang Pencipta. Keesokan harinya saudari kami ini diantar ke Rumah Sakit Elisabeth. Tidak seorang pun dari kami yang tahu sakit apa yang dideritanya. Bahkan menurut Ibu pembimbing kami, dokter pun belum menemukan penyakitnya.
Peristiwa ini semakin menyatukan kami. Siang malam bersama kakak-kakak novis kami bergandeng tangan dalam doa. Secara khusus kami berdelapan gadis-gadis kecil itu sebelum tidur di malam kami masuk ke ruang doa kecil di lantai dua. Kami duduk setengah lingkaran menghadap Sang Pencipta yang bertakhta dalam Sakramen Maha Kudus.
Dengan suara pelan nan lembut kami menyampaikan perhomohonan kami melalui doa koronka. Setiap malam kami bergantian memimpin. Sang pemimpin biasanya mengawali dengan tanda salib, doa Bapa Kami, Salam Maria dan Aku Percaya yang kami ucapkan bersama-sama. Sesudahnya pemimpin doa akan berdoa:
"Bapa yang kekal, kupersembahkan kepadamu Tubuh dan Darah, jiwa dan keAllahan Tuhan kami Yesus Kristus sebagai pemulihan dosa-dosa kami dan seluruh dunia."
Kami satu persatu secara bergilir akan menyambung dengan suara yang sangat pelan hampir menyerupai bisikkan karena takut menggangu tidur kakak-kakak novis kami.
" Demi sengsara Yesus yang pedih, tunjukkanlah belas kasihanmu kepada kami dan seluruh dunia.".
Setelah seluruh manik-manik rosario mendapat giliran melewati ujung-ujung ibu jari dan jari telunjuk kami, kami berdoa bersama.
" Allah yang kudus, kudus dan berkuasa, kudus dan kekal kasihanilah kami dan seluruh dunia...." Kami mengulanginya sebanyak 3 kali.
Setiap malam kami selalu tekun berdoa. Bagaikan jemaat perdana yang sehati sejiwa dalam doa. Ya...memang dari merekalah kami belajar berdoa dengan cara demikian. Bahkan sebelum Risda sakit, kami bersembilan  sudah sering berdoa bersama dalam keheningan malam. Terutama ketika ada salah seorang dari keluarga kami di kampung yang berulang tahun, untuk memperingati hari meninggal ayah dan kakak dari saudari kami Sofia, atau kakek saudari kami Fatima. Kami bahagia dalam doa-doa kami.
Beberapa bulan kemudian saudari kami ini pamit. Pamit untuk kembali kepulaunya kepada ibu  tercintanya sebab ayahnya telah menghadap Sang Pencipta. Inilah untuk pertama kalinya kami merasakan suasana hati yang mencekamkan selama kami hidup di balik dinding sutra ini.
Kami merasa kehilangan. Kami menangis dan saling berpelukan satu dengan yang lain. Ini sudah menjadi keputusannya. Hati kami merasa sakit dengan kesedihan yang mendalam. Seolah  sebilah pedang telah menembus jiwa kami sebagaimana yang pernah dialami oleh Sang Bunda ketika berdiri di kaki salib Putra tercintanya.
Apakah Sang Pencipta tidak lagi hadir dalam diri saudari kami Risda? Oh....tidak. Kami tak pernah berani berpikir demikian. Kami hanya mengimani bahwa inilah cara-Nya menunjukkan jalan hidup yang paling indah bagi setiap orang.
Dengan hati pedih dan berlinangan air mata kami melepaskan saudari kami untuk kembali meniti hidup di luar dinding sutra kami.Â
 "... segala ajaran Sang Pencipta yang telah terpatri di dalam hatiku dan kebersamaan kita selama ini akan selalu menjadi kekuatan dan suka citaku dalam kehidupanku kelak." Bisiknya pada kami seraya meminta pada Ibu pembimbing sebuah buku yang berisi mazmur-mazmur yang biasa kami gunakan dalam doa  bersama.
Setelah saudari kami Risda tidak bersama kami lagi, tiba-tiba kami merasakan bahwa betapa kami saling mencintai satu dengan yang lain. Bahwa betapa kharisma persaudaraan yang teladankan oleh Ibu Magdalena Daemen pendiri kongregasi kami dan bapak Fransiskus Asisi pelindung kami telah melekat erat dalam diri kami. Hati kami yang merasakannya. Dinding sutra serta kakak-kakak malaikat kami yang menjadi saksinya.
Kami kini tinggal berdelapan tapi kami tetap berdoa bersama pada malam hari sebelum tidur. Doa adalah kekuatan kami selama kami menjadi kepompong...hening bersama Allah.Â
Penulis : Sr. Amanda, OSF/ Tinggal di Bali
Editor  : Evaristus Astarka
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI