" Allah yang kudus, kudus dan berkuasa, kudus dan kekal kasihanilah kami dan seluruh dunia...." Kami mengulanginya sebanyak 3 kali.
Setiap malam kami selalu tekun berdoa. Bagaikan jemaat perdana yang sehati sejiwa dalam doa. Ya...memang dari merekalah kami belajar berdoa dengan cara demikian. Bahkan sebelum Risda sakit, kami bersembilan  sudah sering berdoa bersama dalam keheningan malam. Terutama ketika ada salah seorang dari keluarga kami di kampung yang berulang tahun, untuk memperingati hari meninggal ayah dan kakak dari saudari kami Sofia, atau kakek saudari kami Fatima. Kami bahagia dalam doa-doa kami.
Beberapa bulan kemudian saudari kami ini pamit. Pamit untuk kembali kepulaunya kepada ibu  tercintanya sebab ayahnya telah menghadap Sang Pencipta. Inilah untuk pertama kalinya kami merasakan suasana hati yang mencekamkan selama kami hidup di balik dinding sutra ini.
Kami merasa kehilangan. Kami menangis dan saling berpelukan satu dengan yang lain. Ini sudah menjadi keputusannya. Hati kami merasa sakit dengan kesedihan yang mendalam. Seolah  sebilah pedang telah menembus jiwa kami sebagaimana yang pernah dialami oleh Sang Bunda ketika berdiri di kaki salib Putra tercintanya.
Apakah Sang Pencipta tidak lagi hadir dalam diri saudari kami Risda? Oh....tidak. Kami tak pernah berani berpikir demikian. Kami hanya mengimani bahwa inilah cara-Nya menunjukkan jalan hidup yang paling indah bagi setiap orang.
Dengan hati pedih dan berlinangan air mata kami melepaskan saudari kami untuk kembali meniti hidup di luar dinding sutra kami.Â
 "... segala ajaran Sang Pencipta yang telah terpatri di dalam hatiku dan kebersamaan kita selama ini akan selalu menjadi kekuatan dan suka citaku dalam kehidupanku kelak." Bisiknya pada kami seraya meminta pada Ibu pembimbing sebuah buku yang berisi mazmur-mazmur yang biasa kami gunakan dalam doa  bersama.
Setelah saudari kami Risda tidak bersama kami lagi, tiba-tiba kami merasakan bahwa betapa kami saling mencintai satu dengan yang lain. Bahwa betapa kharisma persaudaraan yang teladankan oleh Ibu Magdalena Daemen pendiri kongregasi kami dan bapak Fransiskus Asisi pelindung kami telah melekat erat dalam diri kami. Hati kami yang merasakannya. Dinding sutra serta kakak-kakak malaikat kami yang menjadi saksinya.
Kami kini tinggal berdelapan tapi kami tetap berdoa bersama pada malam hari sebelum tidur. Doa adalah kekuatan kami selama kami menjadi kepompong...hening bersama Allah.Â
Penulis : Sr. Amanda, OSF/ Tinggal di Bali