Penulis: Eva Riana Rusdi
Di tengah gemuruh pandemi COVID-19 yang melanda dunia, sosok dokter Indonesia tampil sebagai garda terdepan dalam pertempuran melawan virus yang tak kasat mata. Mereka adalah pahlawan berjas putih yang mengorbankan waktu, tenaga, bahkan nyawa demi menyelamatkan ribuan nyawa bangsa Indonesia.
Pengorbanan Tanpa Batas
Ketika COVID-19 pertama kali menyerang Indonesia pada awal 2020, para dokter langsung bergerak tanpa ragu. Mereka bekerja tanpa kenal lelah, menghadapi situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Shift kerja yang panjang, alat pelindung diri (APD) yang membuat gerah, dan risiko tertular virus menjadi rutinitas harian mereka.
"Kami tidak punya pilihan selain terus berjuang. Setiap pasien adalah nyawa yang harus kami selamatkan," ungkap Dr. Sarah Meiliana, salah satu dokter yang bertugas di RS Persahabatan Jakarta selama masa kritis pandemi.
Para dokter Indonesia membuktikan daya juang dan kreativitas mereka dalam menghadapi berbagai keterbatasan. Ketika APD masih langka, mereka berinisiatif membuat pelindung wajah dari bahan sederhana. Ketika ruang isolasi penuh, mereka menciptakan sistem triase yang efektif untuk menangani pasien berdasarkan tingkat kegawatan.
Telemedicine menjadi solusi cerdas yang dikembangkan para dokter untuk tetap memberikan layanan kesehatan tanpa meningkatkan risiko penularan. Inovasi ini memungkinkan pasien berkonsultasi dari rumah, mengurangi kepadatan di rumah sakit.
Kisah Heroik yang Tak Terlupakan
Tak sedikit dokter yang harus terpisah dari keluarga berbulan-bulan, memilih tinggal di rumah sakit atau tempat pengungsian sementara demi menjaga keselamatan keluarga mereka. Bahkan, lebih dari 500 dokter Indonesia telah mengorbankan nyawa mereka dalam pertempuran melawan COVID-19. Bahkan, merujuk datatim mitigasi IDI per 8 Maret 2023, sebanyak 756 dokter meninggal dunia.
Di balik statistik dan angka, tersimpan ribuan kisah kepahlawanan yang mengharukan. Dr. Ratna Kusumawardani, spesialis paru di Surabaya, rela tinggal di kamar jaga rumah sakit selama tiga bulan demi menjauhkan risiko penularan dari putranya yang menderita asma. Setiap malam, ia hanya bisa video call untuk membacakan dongeng pengantar tidur.
Di Medan, Dr. Ahmad Faisal mengabdikan diri merawat pasien COVID-19 di daerah terpencil. Dengan motor pribadinya, ia menjelajahi pelosok desa, membawa obat-obatan dan bantuan medis untuk pasien isolasi mandiri. Meski akhirnya ia sendiri terpapar virus dan harus dirawat intensif selama sebulan, setelah sembuh ia langsung kembali bertugas.
Kisah Dr. Maya Tungodimejo dari Malang juga tak kalah menyentuh. Di usia kandungan tujuh bulan, ia tetap memimpin tim penanganan COVID-19 di rumah sakitnya. "Saya percaya bahwa anak dalam kandungan saya juga ikut berjuang bersama melawan pandemi ini," ujarnya sembari tersenyum di balik APD lengkap.
Dr. Handoko Gunawan, dokter senior berusia 73 tahun, tetap memilih bertugas meski berisiko tinggi karena usianya. "Sumpah dokter tidak mengenal usia. Selama saya masih bisa membantu, saya akan terus mengabdi," ujarnya sebelum akhirnya gugur karena COVID-19.
Perjuangan para dokter Indonesia selama pandemi telah meninggalkan warisan berharga bagi dunia kesehatan Indonesia. Protokol penanganan wabah yang lebih baik, sistem kesehatan yang lebih siap menghadapi krisis, dan penguatan solidaritas dalam komunitas medis menjadi pembelajaran tak ternilai.
Hari Dokter Indonesia menjadi momen yang tepat untuk mengenang dan menghargai jasa para pahlawan berjas putih ini. Perjuangan mereka bukan hanya tentang menyelamatkan nyawa, tetapi juga tentang dedikasi, pengorbanan, dan cinta pada profesi dan bangsa.
Sebagai bangsa, kita perlu terus mendukung dan menghargai profesi dokter. Peningkatan fasilitas kesehatan, perlindungan profesi, dan kesejahteraan dokter harus menjadi prioritas untuk memastikan masa depan kesehatan Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H